ASPIRATIF|BANDA ACEH – Harga tandan buah segar (TBS) kelapa sawit di Provinsi Aceh kembali naik pada pekan kedua Juli 2025. Kenaikan ini menjadi angin segar bagi petani sawit, namun masih belum sepenuhnya berdampak karena banyak pabrik kelapa sawit (PKS) yang belum membeli TBS sesuai harga yang ditetapkan pemerintah.
Berdasarkan hasil rapat Tim Penetapan Harga TBS, harga wilayah timur naik sebesar Rp 61 per kilogram menjadi Rp 3.073 per kilogram dari Rp 3.012 per kilogram.
Sementara di wilayah barat naik Rp 81 per kilogram menjadi Rp 3.057 per kilogram dari sebelumnya Rp 2.976 kilogram. Kenaikan ini didorong harga CPO yang melonjak Rp 399,06 per kilogram menjadi Rp 13.663,84 per kilogram.
Namun, harga inti sawit (kernel) justru turun Rp 481,46 per kilogram menjadi Rp 10.051,84 per kilogram. Sementara itu, indeks K faktor penentu harga TBS berdasarkan rendemen dan nilai jual CPO masih di bawah standar ideal 90 persen, yakni 87,25 persen di wilayah timur dan 86,08 persen di wilayah barat.
Berikut harga TBS yang ditetapkan pemerintah Aceh berdasarkan usia tanaman:
Wilayah Timur, usia tiga tahun Rp 2.234,39 per kilogram, usia 10–20 tahun Rp 3.074,97 per kilogram, usia 25 tahun Rp 2.817,91 per kilogram.
Wilayah Barat, usia tiga tahun Rp 2.221,91 per kilogram, usia 10–20 tahun Rp 3.056,80 per kilogram, usia 25 tahun Rp 2.802,17 per kilogram.
Ketua DPW Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (Apkasindo) Aceh, Netap Ginting, menegaskan pentingnya keadilan harga bagi petani, baik plasma maupun swadaya. Ia menyoroti bahwa masih banyak PKS yang tidak mengikuti harga resmi pemerintah.
“Komponen seperti cangkang seharusnya ikut diperhitungkan dalam formula harga. Selain itu, potongan dari buah TBS yang dibawa ke pabrik harus berdasarkan klasifikasi yang sah, tidak boleh ada pemotongan semena-mena yang merugikan petani,” kata Netap, Sabtu, 12 Juli 2025.
Ia menekankan pentingnya transparansi dalam kemitraan antara PKS dan petani. Hingga kini, sekitar 92 persen petani sawit di Aceh masih berstatus swadaya tanpa kemitraan resmi.
“Karena itu, harga TBS yang ditetapkan pemerintah harus dijadikan acuan. Kami mendorong segera dibangunnya kemitraan agar petani swadaya memperoleh harga yang setara dan adil,” ujarnya.
Apkasindo juga mempertanyakan kejelasan pemanfaatan dana Biaya Operasional Tidak Langsung (BOTL) yang diatur dalam Peraturan Menteri Pertanian, namun hingga kini belum transparan.
Netap Ginting mendesak agar forum penetapan harga diikuti secara aktif oleh semua pihak, termasuk pemerintah daerah dan seluruh PKS.
Ia juga meminta surat edaran Gubernur Aceh dijadikan rujukan dalam memperkuat tata kelola dan kepatuhan terhadap harga resmi.[]
