ASPIRATIF – Sebuah dokumen resmi menguak praktik penguasaan dan penjualan lahan dalam skala besar di Gampong Teungoh Kecamatan Trumon memicu pertanyaan publik.
Surat kuasa bernomor 79/GT/X/2020, tertanggal 18 Oktober 2020, menunjukkan bahwa Zulbaili, saat masih menjabat sebagai Keuchik (Kepala Desa) Gampong Teungoh , memberikan kuasa pengelolaan tanah seluas 2.500 hektarkepada Koperasi Serba Usaha (KSU) BUMOE TANOH RENCONG.
Tak hanya itu, dalam dokumen terpisah, Zulbaili juga disebutkan telah menjual 400 hektar dari lahan tersebut kepada Budi Harjo, perwakilan PT ALIS.
Transaksi ini menimbulkan tanda tanya terkait legalitas, transparansi, dan partisipasi masyarakat dalam proses pengalihan hak atas tanah yang begitu luas.
T. Ridwansyah, Ketua Umum Himpunan Mahasiswa Pemuda Pelajar Trumon (HMP2T), menilai kasus ini mencerminkan lemahnya pengawasan dari Pemerintah Kabupaten Aceh Selatan.
“Ini harus menjadi perhatian serius. Ketika tanah masyarakat dikuasakan atau dijual tanpa kajian mendalam dan tanpa melibatkan pemilik sah, di mana peran pemerintah?” tegas Ridwansyah.
Ia memperingatkan bahwa praktik semacam ini berpotensi memicu konflik agraria di masa depan jika tidak ditangani dengan transparan.
“Kami tidak ingin mencari sensasi, tapi tanah adalah warisan dan masa depan rakyat. Pemerintah harus bertindak, bukan diam,” tambahnya.
Ridwansyah mendesak Pemerintah Aceh Selatan dan Pemerintah Provinsi Aceh untuk segera melakukan audit administratif dan verifikasi lapangan.
Selain itu, ia menyarankan agar dibuka ruang dialog dengan masyarakat untuk memastikan tidak ada penyalahgunaan wewenang di tingkat desa.
Kasus ini kembali menyoroti pentingnya reformasi tata kelola aset desa serta penguatan kapasitas aparatur gampong dalam mengambil keputusan strategis.
“Masyarakat menunggu kejelasan dan tindakan nyata dari pemerintah agar hak-hak warga tidak terabaikan,” sebut Ridwansyah.
Ridwansyah menambahkan, Pemerintah Aceh Selatan diharapkan tidak tutup mata dan segera memberikan penjelasan resmi terkait dugaan pelanggaran ini.
“Jika dibiarkan, kasus seperti ini bisa menjadi preseden buruk bagi tata kelola pemerintahan di tingkat desa,” tutup Ridwansyah.[RM]