ASPIRATIF – Heru Setiawan, pengajar Salah Satu Dayah Samalanga, mempertanyakan komitmen Pemerintah Aceh dalam melibatkan Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) dalam proses pengambilan kebijakan.
Padahal, Qanun Nomor 2 Tahun 2009 secara tegas memberikan kewenangan kepada MPU untuk memberikan pertimbangan dalam bidang pemerintahan, pembangunan, ekonomi, sosial, dan budaya.
“MPU seharusnya tidak hanya dilibatkan ketika ada isu keagamaan yang mencuat. Kewenangan mereka jauh lebih luas, tetapi dalam praktiknya, peran ulama sering kali hanya simbolis,” ujar Heru saat dihubungi via telepon, Minggu (27/7).
Ia mencontohkan, dalam sejumlah kebijakan strategis seperti tata ruang, pengelolaan sumber daya alam, dan anggaran daerah, peran ulama kerap tidak dilibatkan dan tidak menjadi pertimbangan utama.
Begitupun, Qanun MPU juga mengamanatkan, bahwa lembaga ini harus memberikan fatwa dan rekomendasi terkait kebijakan publik yang berdampak pada masyarakat.
“Aceh memiliki keistimewaan dalam penerapan syariat Islam, tetapi jika MPU hanya dipanggil saat ada masalah khilafiyah atau kasus moral, maka fungsi strategisnya menjadi tumpul,” tegas Heru.
Menurutnya, Pemerintah Aceh harus lebih serius dalam mengimplementasikan Qanun MPU agar kebijakan yang dihasilkan benar-benar sejalan dengan nilai-nilai Islam.
“Jika tidak, maka keistimewaan Aceh hanya akan menjadi jargon tanpa makna,” tutup Heru.[RM]