Penulis : Sri Radjasa, M.BA (Pemerhati Intelijen)
LAGI-LAGI akrobatik hukum dengan pemainnya dari tim sirkus Kejagung dan Kehakiman dalam perkara Tom Lembong menjadi tontonan membosankan dan membuat beberapa penonton mengalami muntah-muntah, karena keracunan hukum abal-abal.
Publik tidak bodoh dalam menelaah praktek hukum yang digelar oleh Kejagung karena modus memanfaatkan hukum sebagai algojo untuk kepentingan kekuasaan politik memang marak terjadi di era Presiden okowi.
Masih kuat dalam ingatan kita, kasus Jiwasraya dan Asabri, menjadi tontonan sinetron dengan judul “Jokowi Ngidam Golkar”. Produser adalah Jokowi, sutradara Jaksa Agung, pemain Jampidsus, pemeran pembantu Letjen Purn Soni dan Mayjen Purn Adam Damiri serta Benny Cokro.
Kemudian dalam kasus Erlangga, produser, sutradara dan pemainnya tetap sama, tapi skenarionya lebih mengedepankan komedi.
Inilah sinetron komedi paling lucu, erlangga sebagai menko ekonomi yang dituduh korupsi dalam kasus minyak goreng, kemudian sebagai konsekuensinya, erlangga dicopot sebagai ketua umum golkar, kagak nyambung bro !
Dalam dakwaan JPU, Tom Lembong didakwa menerbitkan izin impor tanpa melalui prosedur yang semestinya dan bekerja sama dengan sejumlah pengusaha untuk mengendalikan harga gula di pasar.
Selain itu, Tom Lembong diduga telah mengeluarkan Surat Pengakuan Impor (SPI)/Persetujuan Impor GKM kepada beberapa perusahaan tanpa rapat koordinasi antar kementerian.
Jika Tom Lembong didakwa menerbitkan izin import tanpa prosedur, berarti Jokowi patut diduga sebagai dalang dari import illegal, karena Tom Lembong melaporkan semua rencana import tersebut kepada Jokowi.
Selanjutnya tentu seharusnya mantan menteri sebelum Tom Lembong yang juga harus ditangkap melaksanakan kegiatan import tersebut.
Belum lagi mangkirnya saksi-saksi seperti mantan menteri BUMN Rini Sumarno, semakin membuka tabir gelap Kejagung yang selama ini hanya mampu menjadi alat politik Jokowi .
Dimana kesalahan Tom Lembong, sehingga kejagung geregetan menuntut 7 tahun penjara. Padahal saat Tom ditetapkan sebagai tersangka, tanpa didasarkan pada bukti permulaan berupa minimal dua alat bukti, seperti diatur Pasal 184 Kitab Undang Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).
Kemudian tuduhan telah terjadi kerugian negara sebesar Rp 400 milyar tanpa didasarkan Hasil Audit BPK, ini merupakan perbuatan abuse of power serta merupakan bentuk kriminalisasi terhadap Tom Lembong. Oleh karenanya, penahanan Tom Lembong dinilai tidak memenuhi syarat objektif dan subjektif.
Publik mendesak agar Presiden Prabowo mempertimbangkan kembali tugas perbantuan personel prajurit TNI kepada jajaran kejaksaan, karena dipandang mubazir dan berpotensi merusak citra TNI dihadapkan oleh prilaku oknum pejabat kejaksaan sebagai kacung kekuasaan politik dan oligarki.
Menjadi naïf jika jajaran kejaksaan disebut sebagai “Insan Adiyaksa”, mungkin lebih tepat jika disebut sebagai “Insan Jokowiyaksa”. Sebutan Jokowiyaksa adalah bentuk penghargaan, sehubungan dengan sumbangsih terbesar jokowi yang telah menoreh catatan terburuk kejagung sepanjang sejarah berdirinya Indonesia.[]
