Oleh: T Darma Putra
Di balik indahnya panorama Geurutee yang menghubungkan Banda Aceh dan Barat Selatan Aceh terbentang jalan sempit, terjal, dan rawan longsor. Selama lebih dari satu dekade, masyarakat Aceh Barat Selatan mendambakan solusi permanen: terowongan Geurutee. Namun hingga kini, proyek itu lebih sering muncul sebagai retorika politis ketimbang rencana yang dieksekusi.
2012–2018: Gema Janji dan Angin Surga
Wacana pembangunan terowongan Geurutee mencuat sejak 2012, saat anggota DPR Aceh mulai memperjuangkannya. Pada 2015, Menteri PUPR Basuki Hadimuljono sempat meninjau lokasi dan mendukung usulan tersebut. Bahkan, Gubernur Zaini Abdullah menandatangani gambar teknis awal bersama tim Dinas PU Aceh.
Namun dari AcehTrend, kita tahu bahwa setelah studi awal itu, proyek justru membeku. Tak ada tindak lanjut anggaran atau komitmen birokratis yang jelas. Akibatnya, publik mulai menyebut proyek ini sebagai angin surga yang indah hanya di telinga, hampa di kenyataan.
2023: Janji Ditagih di Hadapan Presiden
Saat Presiden Joko Widodo mengunjungi Aceh pada pertengahan 2023, organisasi masyarakat Persaudaraan Barat Selatan Aceh (PBSA) tak menyia-nyiakan momen. Mereka menagih janji terowongan Geurutee, menyebut kondisi jalan Kulu-Paro yang sempit dan rawan bencana sebagai “bom waktu.” Dalam laporan RMOL, masyarakat mengecam pemerintah pusat yang sudah terlalu lama menunda proyek yang bernilai strategis ini—baik dari sisi keselamatan, logistik, maupun konektivitas regional. Meskipun Presiden tak memberikan pernyataan eksplisit saat itu, tekanan publik terus bergema.
2025: Mualem Datang dengan Komitmen Baru
Dua tahun berselang, harapan itu kembali menguat. Dalam pertemuan pada 25 Juni 2025, Gubernur Aceh Muzakir Manaf (Mualem) secara resmi mengusulkan pembangunan terowongan Geurutee kepada Menteri PUPR, Dody Hanggodo. Dilaporkan oleh AJNN, Mualem menekankan bahwa tingginya kecelakaan di jalur Geurutee bukan lagi sekadar statistik, tapi *kegagalan negara dalam menjamin keselamatan warganya*.
Menariknya, usulan ini tidak berdiri sendiri. Gubernur juga membawa paket rencana pembangunan infrastruktur lainnya, termasuk sekolah rakyat, memperlihatkan pendekatan pembangunan yang holistik: menyambungkan tidak hanya wilayah, tapi juga akses pendidikan dan pelayanan publik di kawasan terisolasi.
Menteri Dody menyambut baik usulan tersebut dan menyatakan akan melakukan kajian teknis segera. Tentu, masyarakat berharap ini bukan kajian demi kajian, tetapi tahap eksekusi nyata
Jalan Menuju Realisasi atau Lintasan Menuju Lupa? Terowongan Geurutee kini bukan lagi sekadar proyek infrastruktur. Ia telah menjadi metafora kolektif tentang janji yang ditangguhkan, kepemimpinan yang diuji, dan rakyat yang menanti dalam sabar yang tak selalu ikhlas.
Jika langkah Gubernur Mualem kali ini disertai konsistensi politik dan dorongan dari masyarakat sipil, maka terowongan itu bisa benar-benar tembus—bukan hanya di punggung Gunung Geurutee, tapi juga di dinding tebal ketidakpercayaan publik terhadap janji-janji pembangunan.
Penulis adalah Warga Aceh Selatan Berdomisili di Banda Aceh