Menu

Mode Gelap
 

Nasional · 28 Sep 2025 11:51 WIB ·

PP 45 Tahun 2025 Dinilai Jadi “Suntik Mati” Industri Sawit Nasional


 Foto: Ilustrasi Perbesar

Foto: Ilustrasi

ASPIRATIF.ID — Pemerintah resmi menerbitkan Peraturan Pemerintah (PP) No. 45 Tahun 2025 tentang perubahan atas PP No. 24 Tahun 2021 terkait tata cara pengenaan sanksi administratif di bidang kehutanan pada 19 September 2025.

Regulasi ini sejatinya diharapkan menjadi solusi bagi jutaan hektare perkebunan sawit yang terlanjur berada di kawasan hutan tanpa izin. Melalui mekanisme denda, usaha yang sudah berjalan diharapkan bisa memperoleh kepastian hukum.

Namun, alih-alih memberi kepastian, aturan baru ini justru menimbulkan babak baru ketidakpastian yang berpotensi mengancam keberlangsungan industri sawit nasional.

Direktur Pusat Studi dan Advokasi Hukum Sumber Daya Alam (PUSTAKA ALAM), Muhamad Zainal Arifin, menyebut masalah legalitas lahan sawit ibarat bom waktu yang diwariskan sejak era deregulasi 1990-an.

Saat itu, izin lokasi dan HGU kerap tumpang tindih dengan kawasan hutan yang belum selesai proses pengukuhannya.

“Seharusnya PP 45/2025 menata masalah ini secara adil. Tapi yang ditempuh justru jalan pintas yang mengorbankan kepastian usaha dan hak agraria,” ujar Zainal, dalam keterangan resmi pada Minggu (28/9/2025).

Pergeseran Filosofi Hukum

Menurut Zainal, pergeseran paling mendasar tampak dari filosofi hukum yang dianut. UU No. 6 Tahun 2023 tentang Cipta Kerja menekankan penyelesaian keterlanjuran lahan dengan denda administratif, bukan pidana.

Prinsipnya: ultimum remedium. Namun Pasal 3 ayat (5) dan Pasal 35A PP 45/2025 justru memperkenalkan mekanisme “penguasaan kembali”. Setelah denda dibayar, lahan tidak otomatis dilegalkan, melainkan diambil alih negara dan diserahkan kepada BUMN.

“Ini jelas bertolak belakang dengan semangat UU Cipta Kerja,” tegasnya.

Persoalan lain muncul pada metode perhitungan denda. UU Cipta Kerja mengamanatkan tarif dihitung berdasarkan persentase keuntungan, sehingga lebih proporsional. Akan tetapi, PP 45/2025 menetapkan tarif tetap Rp25 juta per hektare per tahun.

Akibatnya, nilai denda melonjak tajam. Dalam kasus tertentu, perhitungan denda yang menurut UU sekitar Rp500 miliar bisa berubah menjadi Rp2,5 triliun dengan PP baru ini.

“Perubahan ini bukan saja menghapus keadilan, tetapi juga menimbulkan disparitas ekstrem,” kata Zainal.

Masalah kian rumit ketika Satgas Penertiban Kawasan Hutan (PKH) menggunakan data izin lokasi sebagai dasar perhitungan luas, bukan data kebun riil. Ada kasus perusahaan yang baru menanam tiga hektare, tetapi dipaksa membayar denda atas lahan 8.700 hektare.

Kritik juga diarahkan pada aspek kelembagaan. Menurut UU Kehutanan dan UU Pencegahan Perusakan Hutan, otoritas utama berada di tangan Menteri Kehutanan. Namun PP 45/2025 justru memperkuat posisi Satgas PKH yang bersifat ad hoc.

“Satgas kini punya kewenangan verifikasi, rekomendasi, hingga eksekusi penguasaan kembali. Padahal lembaga ini tidak dikenal dalam UU. Praktis, ia menjelma pemerintahan bayangan,” ujar Zainal.

Ancaman Krisis Sawit

Dampak terberat aturan ini menyasar pada hak atas tanah. UUPA menegaskan HGU hanya bisa dicabut untuk kepentingan umum dengan ganti rugi.

Namun melalui mekanisme penguasaan kembali, HGU bisa hilang hanya karena dianggap berada di kawasan hutan tahap penunjukan.

Kondisi ini membuat lembaga keuangan ragu menyalurkan kredit ke sektor sawit karena status hukumnya bisa berubah sewaktu-waktu.

Risiko lainnya, gelombang gugatan di Pengadilan Tata Usaha Negara hampir pasti meningkat. Sengketa agraria di lapangan pun dikhawatirkan makin panas.

Dari sisi ekonomi, ancaman krisis pasokan CPO tidak bisa diabaikan. Jika lahan produktif beralih ke BUMN yang belum tentu efisien, produksi sawit Indonesia bisa terpukul. .

Padahal, lebih dari separuh minyak sawit dunia bersertifikat RSPO berasal dari Indonesia.

Hingga September 2025, Satgas PKH mengklaim telah menguasai kembali 3,3 juta hektare lahan. Jika denda dihitung Rp250 juta per hektare, total kewajiban yang harus dibayar perusahaan mencapai Rp831 triliun.

Beban ini dinilai akan melumpuhkan perusahaan sawit dan berimbas pada 16,5 juta pekerja yang menggantungkan hidup pada industri ini.

Alih-alih menjadi solusi penertiban, PP 45/2025 justru dipersepsikan sebagai instrumen pengambilalihan terselubung. Regulasi ini menggeser filosofi denda dari legalisasi menjadi nasionalisasi, menerapkan tarif pukul rata yang mencekik, memperkuat Satgas ad hoc, hingga melemahkan asas kepastian hukum.

“Jika tidak segera dikoreksi, PP 45/2025 bisa menjadi titik awal krisis besar sawit Indonesia—krisis legalitas, finansial, dan sosial,” tegas Zainal.

Dengan tekanan dari luar negeri berupa isu lingkungan dan boikot, kini industri sawit Indonesia justru terhimpit regulasi dalam negeri yang kontradiktif. Potret suram sawit nasional pun kian nyata.[]

banner 350x350
Artikel ini telah dibaca 149 kali

badge-check

Redaksi

Baca Lainnya

Wakil Gubernur Aceh Buka Pekan Kebudayaan Aceh Barat 2025

12 Oktober 2025 - 14:15 WIB

Santri Yayasan Pendidikan Hafizh Cendekia Kunjungi Laboratorium Lapangan Peternakan USK

12 Oktober 2025 - 11:34 WIB

Kancil, Rubah, dan Panggung Politik Hutan Raya

12 Oktober 2025 - 11:11 WIB

Cabut Rekomendasi IUP PT Laguna Jaya Tambang, Masady Manggeng Mengaku Salut Langkah Tegas Bupati Abdya

12 Oktober 2025 - 11:00 WIB

Gerakan Gampong Magrib Mengaji, Program Kerja 100 Hari Tanpa Aksi

12 Oktober 2025 - 08:45 WIB

Jeumpa 2025: Meningkatkan Kompetensi Apoteker dalam Asuhan Kefarmasian Penyakit Jantung

11 Oktober 2025 - 21:50 WIB

Trending di Daerah