ASPIRATIF.ID — Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) menyayangkan pernyataan Menteri Keuangan yang menyebut profesi guru sebagai beban negara.
Pernyataan tersebut dianggap berlebihan sekaligus melukai perasaan para pendidik, terutama guru honorer yang selama ini setia mengabdi di pelosok tanah air untuk mencerdaskan generasi bangsa.
Berdasarkan data Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah, jumlah guru honorer pada 2022 mencapai 704.503 orang.
Angka itu belum termasuk 141.724 guru tidak tetap (GTT) di tingkat kabupaten/kota serta 13.328 GTT di tingkat provinsi.
Sebagai upaya mengurangi ketimpangan, pemerintah telah mengangkat 774.999 guru menjadi ASN PPPK hingga awal 2024, dengan target mencapai satu juta guru PPPK.
“Guru merupakan formasi terbesar dalam ASN PPPK nasional, jumlahnya sekitar 770 ribu orang,” ujar Ketua Badan Khusus Komunikasi dan Digitalisasi PGRI, Wijaya, Senin (18/8/2025).
Ia menambahkan, pemerataan tenaga pendidik di wilayah terluar, terdepan, dan tertinggal (3T) masih menjadi persoalan serius. Secara nasional, rasio murid terhadap guru memang terbilang baik di angka 16:1, namun distribusinya belum merata.
“Banyak guru di pelosok masih harus merangkap mengajar beberapa mata pelajaran karena keterbatasan tenaga pendidik,” jelasnya.
Guru Bukan Beban Negara, tapi Pengabdi dan Pencetak Generasi Penerus Bangsa
Wijaya menegaskan, realita di lapangan membuktikan bahwa guru bukanlah beban negara. Di Kabupaten Sigi, Sulawesi Tengah, misalnya, guru SMPN 16 rela mendaki bukit dan mendatangi rumah siswa hingga tiga kali dalam sepekan akibat tidak tersedianya akses internet dan listrik.
”Di Musi Rawas Utara, Sumatera Selatan, seorang guru honorer bernama Rudi Hartono setiap hari menyeberangi sungai dengan rakit bambu, bahkan menggendong muridnya ketika arus deras agar mereka tetap bisa bersekolah. Sementara di Lebak, Banten, Jubaedah sudah 30 tahun berjalan kaki menembus jalan hutan, meski pernah terperosok jurang, demi memastikan anak-anak di desanya tetap belajar,” tandas Wijaya.
Selain itu, lanjut dia, pemerintah sebenarnya sudah menetapkan tunjangan khusus setara satu kali gaji pokok bagi guru yang bertugas di daerah sangat tertinggal.
Namun realisasi di lapangan masih menghadapi kendala, baik dari segi distribusi anggaran maupun ketepatan sasaran.
“PGRI mendesak pemerintah, khususnya Menteri Keuangan, untuk lebih bijaksana dalam menyampaikan pernyataan publik. Alih-alih melontarkan ucapan yang merendahkan martabat dan menyakiti guru, kebijakan seharusnya diarahkan pada upaya peningkatan kesejahteraan, percepatan pengangkatan honorer menjadi ASN PPPK, serta pemenuhan hak-hak guru sesuai amanat Undang-Undang,” tegas Wijaya.
”Kalau mau disebut beban negara, dan yang patut disebut sebagai beban negara adalah mereka yang memakan dan menghabiskan uang negara tanpa tanggung jawab, seperti para koruptor,” lanjut Wijaya.
”Guru justru mengabdi meski tanpa bayaran layak, mendidik anak-anak bangsa di pelosok negeri lebih dari 62 juta murid,” ungkap dia.
Dia menambahkan, profesi guru bukan sekadar pekerjaan, melainkan panggilan pengabdian yang menopang masa depan bangsa.
”Karena itu, dukungan penuh dari negara menjadi keharusan, bukan pilihan apalagi merendahkan dan menyakiti para guru,” tutup Wijaya.[]
