ASPIRATIF.ID – Rokok masih menjadi salah satu pengeluaran terbesar masyarakat yang hidup di bawah garis kemiskinan di Indonesia.
Bahkan, jumlah belanjanya tercatat melampaui kebutuhan gizi penting seperti telur dan daging ayam.
Fakta ini kembali mencuat dalam laporan resmi Badan Pusat Statistik (BPS) yang dirilis pada 25 Juli 2025.
Dalam laporan tersebut, terungkap bahwa rokok menempati posisi kedua dalam struktur pengeluaran rumah tangga miskin, hanya kalah dari beras yang menjadi makanan pokok utama.
BPS mencatat, di wilayah perkotaan, rata-rata keluarga miskin mengalokasikan 10,72 persen pengeluarannya untuk membeli rokok.
Angka ini lebih dari dua kali lipat dibandingkan pengeluaran untuk telur ayam (4,50 persen) dan daging ayam ras (4,22 persen).
Fenomena serupa juga terjadi di wilayah perdesaan, di mana pengeluaran rokok mencapai 9,99 persen, sementara telur ayam hanya 3,62 persen dan daging ayam 2,98 persen.
Meski bukan yang tertinggi, pengeluaran untuk rokok berada tepat di bawah pembelian beras, yang memang menjadi kebutuhan pokok utama.
Untuk keluarga miskin di kota, konsumsi beras menghabiskan 21,06 persen dari pengeluaran, sedangkan di desa bahkan lebih tinggi, mencapai 24,91 persen.
Tak hanya kebutuhan makanan, pengeluaran non-makanan juga menyita porsi besar dari anggaran warga miskin.
Beberapa pos penting meliputi biaya tempat tinggal, bahan bakar (seperti bensin dan gas), listrik, kebutuhan kebersihan (perlengkapan mandi), hingga biaya pendidikan anak-anak.
Pola ini mencerminkan tekanan ekonomi yang kompleks: di satu sisi, masyarakat miskin masih harus mencukupi kebutuhan dasar, namun di sisi lain, pengeluaran untuk rokok tetap tinggi dan konsisten dari tahun ke tahun.
Garis kemiskinan Indonesia 2025 Naik
Pada Maret 2025, garis kemiskinan nasional ditetapkan sebesar Rp 609.160 per kapita per bulan, naik 2,34 persen dibandingkan periode September 2024.
Angka ini mencerminkan batas minimum pengeluaran seseorang untuk memenuhi kebutuhan dasar hidupnya.
Komponen makanan dalam garis kemiskinan dihitung dari 52 jenis komoditas yang dianggap mewakili konsumsi harian masyarakat.
Sementara itu, untuk kebutuhan non-makanan, BPS mencatat 51 komoditas untuk daerah perkotaan dan 47 komoditas untuk wilayah perdesaan.
Berikut daftar pengeluaran yang berkontribusi terhadap garis kemiskinan Indonesia 2025: Makanan: 73,67 persen di perkotaan, 76,07 persen di perdesaan.
1. Beras: 21,06 persen di perkotaan, 24,91 persen di perdesaan
2. Rokok kretek filter: 10,72 persen di perkotaan, 9,99 persen di perdesaan.
3. Telur ayam ras: 4,50 persen di perkotaan, 3,62 persen di perdesaan
4. Daging ayam ras: 4,22 persen di perkotaan, 2,98 persendi perdesaan.
5. Di perkotaan mie instan 2,47 persen, di perdesaan gula pasir 2,40 persen
6. Kopi bubuk dan kopi instan sachet: 2,29 persen di perkotaan, 2,16 persen di perdesaan
7. Di perkotaan roti 2,09 persen, di perdesaan mie instan 2,08 persen
8. Di perkotaan kue basah 1,98 persen, di perdesaan bawang merah 1,99 persen.
9. Di perkotaan bawang merah 1,79 persen, di perdesaan cabai rawit 1,86 persen
10. Di perkotaan gula pasir 1,78 persen, di perdesaan kue basah 1,86 persen
Bukan makanan: 26,33 persen di perkotaan, 23,93 persen di perdesaan
1. Perumahan: 9,11 persen di perkotaan, 8,99 persen di perdesaan
2. Bensin: 3,06 persen di perkotaan, 3,03 persen di perdesaan
3. Listrik: 2,58 persen di perkotaan, 1,52 persen di perdesaan
4. Pendidikan: 2,07 persen di perkotaan, 1,25 persen di perdesaan
5. Perlengkapan mandi: 1,31 persen di perkotaan, 1,15 persen di perdesaan
6. Di perkotaan untuk perawatan kulit, muka, kuku, rambut 0,79 persen; di perdesaan untuk sabun cuci 0,76 persen
7. Di perkotaan untuk kesehatan 0,72 persen; di perdesaan untuk perawatan kulit, muka, kuku, rambut 0,73 persen
8. Lainnya: 6,68 persen di perkotaan, 6,50 persen di perdesaan
Polemik garis kemiskinan menurut BPS
Sebelumnya ,angka garis kemiskinan menurut BPS juga jadi polemik. Menurut pandangan banyak orang,nilai Rp 609.000 per kapita per bulan dianggap terlalu rendah dan dinilai tidak realistis jika dibandingkan dengan standar internasional seperti digunakan Bank Dunia.
Warganet hingga pengamat mempertanyakan,bagaimana mungkin seseorang dianggap tidak miskin jika pengeluarannya masih di bawah Rp 20.000 perhari.
Menanggapi polemik ini, Kepala BPS Amalia Adininggar Widyasanti memberikan penjelasan untuk meluruskan kesalahpahaman yang banyak beredar.
“Garis kemiskinan itu harus diterjemahkan dan dibaca sebagai garis kemiskinan rumah tangga,” kata Amalia.
Amalia menjelaskan bahwa angka Rp 609.000 adalah pengeluaran minimun per orang dalam sebulan. Untuk menilai apakah sebuah keluarga tergolong miskin ,angka tersebut harus dikalikan dengan jumlah anggota rumah tangga.
” Rp 609.000 itu per orang per bulan. Harus dikalikan dulu 4,72,sehingga kira-kira totalnya 2,9 juta rupiah.Itu baru bisa digunakan untuk melihat apakah sebuah rumah tangga tergolong miskkin,” jelasnya.
BPS sendiri menggunakan rata-rata 4,72 orang sebagai ukuran rumah tangga miskin di Indonesia. Artinya, ambang batas garis kemiskinan untuk keluarga secara keseluruhan berada di kisaran Rp 2,9 juta per bulan.
Amalia juga mengingatkan agar angka tersebut tidak ditafsirkan secara keliru sebagai batas kelayakan hidup harian per individu. Menurutnya, penghitungan Rp 609.000 dibagi 30 hari menjadi 20.000 per hari adalah pendekatan yang menyesatkan.
“Kalau diterjemahkan langsung per hari jadi Rp 20.000 per orang,itu salah besar,” tegasnya.
Dengan penjelasan ini,BPS berharap masyarakat bisa memahami konsteks penghitungan garis kemiskinan secara lebih tepat.Bukan sekadar melihat angka nominal,tetapi juga metodologi dan cakupan perhitungannya.**
Sumber : Kompas.Com