Oleh: Nora Agustia,Dira Karuna,Ahmad Radhi Ousa, Yusri (Mahasiswa KPM STAI Tapaktuan)
GAMPONG Malaka bukan sekadar titik di peta Kecamatan Kluet Tengah, Aceh Selatan. Ia adalah ruang hidup yang menyambut kami mahasiswa Kuliah Pengabdian Masyarakat (KPM) STAI Tapaktuan dengan tangan terbuka, senyum hangat, dan hati penuh keikhlasan.
Senyum warga Malaka bukan basa-basi. Ia memuat cerita kehidupan yang dijalani dengan kesabaran, harapan, dan keimanan. Di balik senyum itu, kami menemukan makna yang lebih dalam dari sekadar pengabdian, yakni perjumpaan jiwa dengan masyarakat yang sederhana namun bijak dalam menyikapi kehidupan.
Cerita: Hari-Hari Bersama Warga yang Tulus
Setiap pagi, kami melihat para ibu menanak nasi dengan didapur rumah, anak-anak berseragam melangkah menuju sekolah dasar, dan para lelaki bersiap turun ke kebun dan bekerja. Hari-hari kami dimulai dengan azan subuh dari Masjid/ Meunasah dan Dayah, dan diakhiri dengan pengajian anak-anak di malam hari.
Di sela aktivitas itu, kami duduk bersama warga, bercakap santai tentang hidup, pendidikan, dan agama. Kami mendengarkan lebih banyak daripada berbicara, karena kami sadar, di sinilah letak ilmu yang sesungguhnya.
Cita: Harapan untuk Masa Depan Malaka
Dari cerita-cerita itu lahir banyak cita-cita: bagaimana membangun Malaka menjadi gampong yang maju tanpa meninggalkan akar nilai. Anak-anak ingin kuliah, para ibu ingin berdaya lewat usaha kecil, para pemuda ingin punya akses digital dan pelatihan kerja. Tapi mereka juga ingin mempertahankan ketenangan hidup kampung yang penuh makna.
Kami mencoba menyalakan percikan kecil untuk cita-cita itu. Mengajar anak-anak mengaji dan membaca, mengadakan pelatihan dan pengabdian sederhana, serta membantu dokumentasi kegiatan desa. Mungkin hanya setitik, tapi kami berharap tetesan itu akan menyuburkan benih-benih perubahan.
Cinta: Pengabdian yang Tumbuh dari Hati
Ada hal yang tak kami duga: kami jatuh cinta pada desa ini. Cinta pada kesederhanaannya, pada wajah-wajah yang bersih dari kepalsuan, pada kehidupan yang ditata oleh adat dan agama. Kami mencintai Malaka bukan karena ia sempurna, tetapi karena ia jujur.
Kehangatan para ibu, tawa anak-anak, kesungguhan tokoh agama, serta semangat aparatur desa dalam membangun kampung, semua itu membekas dalam hati kami. Cinta ini bukan untuk dimiliki, tapi untuk dikenang dan dibawa pulang dalam bentuk semangat pengabdian yang lebih luas.
Penutup: Malaka, Terima Kasih
Kami datang sebagai mahasiswa, tapi pulang sebagai saudara. Kami belajar tentang arti hidup, tentang bagaimana agama, adat, dan kerja keras menyatu dalam kehidupan masyarakat. Di balik senyum warga Malaka, kami menemukan cerita yang menginspirasi, cita yang membangkitkan harapan, dan cinta yang akan terus tumbuh.
Kami yakin, suatu saat nanti, Malaka akan menjadi gampong yang tidak hanya mandiri secara ekonomi, tapi juga kaya secara nilai dan spiritual. Dan kami bangga pernah menjadi bagian kecil dari perjalanannya.[]
Penulis merupakan mahasiswa Kuliah Pengabdian Masyarakat (KPM) STAI Tapaktuan Aceh Selatan, yang bertugas di Gampong Malaka Kluet Tengah, Aceh Selatan.