Oleh: Aqsyifa Neisha (Mahasiswa HKI STAI Tapaktuan).
Di beberapa wilayah Aceh, terutama dalam komunitas gampong yang masih menjunjung tinggi nilai adat, kita mengenal satu fenomena menarik pasca pernikahan, “mancilok pulang” atau “cue wo” yaitu peristiwa di mana pasangan pengantin pulang bersama ke rumah mempelai pria/wanita sebelum pesta pernikahan (walimah) digelar secara adat.
Dalam pandangan adat, tindakan ini sering dianggap melanggar etika sosial bahkan bisa memicu gunjingan. Namun dari perspektif syari’ah, justru tidak ada larangan sama sekali.
Di sinilah terlihat jelas bagaimana adat dan syari’ah kadang bisa saling bersentuhan, bahkan bertentangan.
Nikah dalam Pandangan Syari’ah
Dalam Islam, sebuah pernikahan sah dan halal ketika rukun dan syaratnya telah terpenuhi: ada wali, dua saksi, mahar, ijab-qabul, dan kerelaan kedua mempelai.
Setelah akad nikah berlangsung, maka keduanya halal untuk tinggal bersama, membangun rumah tangga, dan menjalani hak serta kewajiban sebagai suami istri.
“Dan setelah kalian memberikan mahar, maka janganlah kalian menghalangi mereka…”(QS. Al-Baqarah: 232)
Dengan demikian, tidak ada keharusan syar’i menunggu pesta untuk memulai hidup bersama. Bahkan pesta hanyalah anjuran dalam bentuk walimah sebagai syiar dan bentuk rasa syukur.
Mancilok Pulang dan Pandangan Adat Aceh
Dalam adat Aceh, pernikahan bukan hanya peristiwa keluarga, tetapi juga peristiwa sosial. Di sinilah masyarakat melihat pentingnya prosesi adat,mulai dari “peumulia jamee”, “meugaca manoe pucok, peusijuk dan doa”, hingga pesta walimah yang meriah.
Jika seorang pengantin “cue wo” atau pulang tanpa pesta, maka seringkali dianggap, tidak menghormati keluarga besar,melangkahi tahapan adat,atau bahkan “mencuri” anak gadis tanpa penghormatan sosial.
Istilah “mancilok pulang” sendiri secara bahasa bermakna mencuri pulang, dan membawa konotasi seolah-olah menyalahi tatanan. Bahkan ada masyarakat yang menganggapnya aib kecil, meskipun secara hukum agama hal itu sah dan halal.
Antara Hukum Agama dan Adat: Haruskah Bertentangan?
Islam sebagai agama rahmat tidak menghapus adat, selama adat itu tidak bertentangan dengan syari’ah. Dalam kaidah fikih dikenal “Al-‘Adah Muhakkamah” Adat dapat dijadikan hukum, selama tidak melanggar nash yang jelas.
Jadi, apabila adat Aceh melarang pengantin pulang ke rumah bersama karena belum pesta, namun tidak melarang hubungan suami-istri setelah akad, maka ini bukan pertentangan besar.Justru bisa dijembatani melalui komunikasi keluarga dua pihak, penjadwalan pesta yang cepat pasca akad, dan menahan diri demi menjaga keharmonisan sosial.
Tapi pelarangan ini, jangan merusak syari’ah yang justru menghalangi hak dan kewajiban suami Istri. Karena usai ijab qobul maka hubungan kedua mempelai sah secara hukum agama.
Penutup: Mari Memahami dan Menjembatani
Fenomena “cue wo” hanyalah satu contoh kecil bagaimana masyarakat Aceh masih bergulat antara adat dan syari’ah. Kita tidak perlu memusuhi adat, tapi juga tidak boleh menjadikan adat sebagai pembatas kebenaran syari’ah.
Islam mengajarkan hikmah dan kesabaran dalam menyampaikan kebenaran. Maka, para pemuka adat, ulama, dan generasi muda Aceh perlu duduk bersama mencari jalan tengah, agar nilai-nilai adat yang baik tetap lestari, tanpa menafikan hukum Allah yang sudah sempurna.
Karena sejatinya, adat dan agama tidak bertarung. Tapi saling mendukung ketika diletakkan di tempat yang tepat.**
Catatan: Tulisan ini bagian dari refleksi sosial budaya Aceh dalam melihat ulang praktik pernikahan dan keberagamaan masyarakat. Dikaji dalam Kajian Mata Kuliah Fiqh Munakahat di Prodi Hukum Keluarga Islam (HKI) STAI Tapaktuan.