Oleh: Ilham Mirsal, MA (Lanjutan dari artikel sebelumnya yang dimuat di Aspiratif)
“Tubuh boleh terpenjara, tapi semangat tidak bisa dipenjara.”
Petuah lisan para pejuang yang selamat dari Batavia
Setelah keberhasilan serangan yang mengguncang pos militer Belanda di Terbangan dan menewaskan Letnan Satu Molenaar alias Kapiten Lhoknga, sejarah mencatat babak kelam yang dialami sebagian pejuang.
Mereka yang tertangkap akibat pelanggaran pantangan dimalam penyerangan kem Belanda di Sekolah SR Terbangan yakni karena bersuara saat pembongkaran gudang senjata harus menanggung risiko besar: gurur, ditawan dan dibuang ke Batavia.
Para Tawanan: Dari Terbangan ke Batavia
Perjalanan menuju Batavia (kini Jakarta) bukan sekadar pengasingan, tapi juga bentuk penghinaan yang dirancang oleh kolonial untuk mematahkan moral perjuangan. Di antara para tawanan itu, terdapat seorang tokoh penting: Teuku Raja Umar bin Teuku Raja Bintang, yang saat itu menjabat sebagai Ulee Balang Terbangan.
Ia bukan hanya pemimpin administratif, tapi juga bagian dari arsitek perlawanan senyap. Dalam penahanan di Batavia, mereka menghadapi penyiksaan fisik, interogasi panjang, dan ancaman hukuman mati.
Sebagian pejuang lain dilaporkan digantung atau dibuang ke tempat yang tidak diketahui, namun sebagian lagi berkat tekanan masyarakat Aceh dan perubahan politik kolonial akhirnya dibebaskan.
***
Kembalinya Sang Ulee Balang
Setelah bertahun-tahun dalam kurungan, Teuku Raja Umar akhirnya dipulangkan ke Aceh Selatan. Kepulangannya disambut dengan isak haru masyarakat Terbangan yang telah lama menanti.
Namun, beliau tidak kembali dalam kemegahan, melainkan dalam diam membawa luka sejarah dan tekad untuk tetap menjaga marwah daerahnya.
Setelah kembali, beliau melanjutkan peran sebagai Ulee Balang, meski dalam tekanan sistem kolonial yang semakin represif. Namun posisinya di tengah masyarakat membuat ia menjadi simbol daya tahan seseorang yang selamat dari tiang gantungan dan kembali sebagai saksi hidup perlawanan Aceh.
***
Kesaksian Lisan yang Terus Hidup
Cerita ini dituturkan turun-temurun oleh para tetua kampung, Almarhum Ayahwa Fiie, Alm, Ayahwa Akob, dan lainnya yang kini telah berpulang.
Mereka menyebut bahwa ada di antara pejuang yang hampir digantung, namun di menit terakhir hukumannya dibatalkan karena kurang bukti kuat.
Mungkin karena ketegasan, mungkin karena diplomasi, atau mungkin karena takdir Allah yang menghendaki sejarah terus hidup melalui mereka.
Salah satu yang disebut oleh para tetua adalah seorang pejuang yang sempat dikira hilang di Batavia, namun beberapa tahun kemudian muncul kembali di Terbangan hidup dalam kesederhanaan, menjauh dari politik, namun tetap menyimpan cerita di balik matanya yang tajam.
***
Terbangan: Bukan Sekadar Kampung
Peristiwa ini menegaskan bahwa Terbangan bukan sekadar kampung nelayan di pesisir Pasie Raja, tetapi titik strategis yang sempat menjadi pusat gerakan bawah tanah melawan kolonial.
Letaknya yang dekat dengan laut, akses ke gunung, dan loyalitas rakyatnya menjadikannya medan sulit bagi Belanda.
Tak heran bila setelah peristiwa Molenaar, Belanda memperketat penjagaan dan membangun jaringan mata-mata di daerah ini.
Tapi sejarah menunjukkan, tidak satu pun pengkhianat dari kalangan rakyat Terbangan sendiri — karena mereka lebih memilih mati daripada menjual tanah leluhur.
Menjaga Api Sejarah
Kini, di saat nama-nama seperti Letnan Molenaar tercatat dalam arsip kolonial dan catatan militer Belanda, nama-nama para pejuang Terbangan justru nyaris hilang dari dokumen resmi.
Mereka hidup hanya dalam cerita lisan, di meja kopi, dan dalam ingatan para cucu-cicitnya.
Sudah saatnya, generasi kini mencatat ulang sejarah ini bukan untuk membalas dendam, tetapi untuk membangun identitas dan harga diri sejarah Aceh Selatan.
Nama seperti Teuku Raja Umar, Muhidin, dan para pejuang lainnya harus diabadikan dalam buku-buku sejarah lokal, bahkan jika perlu dalam kurikulum sekolah-sekolah dayah dan madrasah di wilayah ini.
Catatan Penutup
Cerita ini belum selesai. Masih ada kisah tentang anak-anak pejuang yang melanjutkan hidup dalam bayang-bayang penjajahan, tentang tanah dan rumah yang dirampas oleh kolonial, serta tentang pemakaman massal para syuhada yang belum terdata.
Mungkin, kini saatnya rakyat Terbangan, Sapek, Bakongan dan pemerintah daerah menyusuri jejak sejarah itu kembali, sebelum hilang ditelan waktu.[]
