Menu

Mode Gelap
 

News · 31 Agu 2025 02:41 WIB ·

Ujian Kedewasaan Parlemen 


 Ujian Kedewasaan Parlemen  Perbesar

DEMOKRASI Indonesia sudah melewati banyak ujian. Mulai dari jalan panjang reformasi yang menggulingkan otoritarianisme, gelombang pemilu yang datang silih berganti, hingga dinamika sosial yang tidak pernah surut, bangsa ini terus mencoba menegakkan janji bahwa kedaulatan ada di tangan rakyat.

Namun, janji selalu tidak sesederhana saat diucapkan. Selalu ada jarak yang dirasakan warga antara suara yang diberikan di bilik pemilu dengan kebijakan yang lahir di Senayan.

Selalu ada rasa kecewa bahwa wakil rakyat lebih sibuk bernegosiasi dengan kepentingan politik ketimbang mendengar aspirasi warganya. Meski begitu, rakyat tidak berhenti menaruh harapan.

Mereka tetap datang ke tempat pemungutan suara, tetap membayar pajak, tetap mengikuti aturan, dengan keyakinan bahwa wakilnya suatu saat akan sungguh-sungguh melayani.

Dalam ruang inilah DPR seharusnya berdiri tegak. Bukan sekadar sebagai gedung berpendingin udara di pusat Jakarta, melainkan sebagai rumah aspirasi yang sanggup menampung riuh rendah suara bangsa.

Kritik publik terhadap DPR sudah begitu sering terdengar, kadang keras, kadang getir. Namun, yang lebih penting dari kritik adalah kemampuan untuk berbenah.

Demokrasi yang matang bukan demokrasi tanpa kritik, melainkan demokrasi yang menjadikan kritik sebagai bahan bakar untuk perubahan.

Bagi DPR, kesempatan itu selalu terbuka, justru karena rakyat masih bersedia berharap. Hal pertama yang bisa dilakukan DPR untuk membuktikan kedewasaannya adalah hadir di tengah masyarakat.

Kehadiran itu tidak hanya berarti muncul saat kampanye atau kunjungan seremonial, tetapi benar-benar menyelam dalam keseharian rakyat.

Anggota parlemen dapat membuka ruang-ruang dengar yang tulus di daerah pemilihannya, mengunjungi pasar, kampung, dan tempat kerja warga, bukan untuk sekadar berfoto, melainkan untuk mendengarkan keluhan tanpa jarak.

Ketika seorang buruh berbicara tentang upah, ketika seorang nelayan bercerita tentang laut yang semakin sulit ditangkap ikannya, atau ketika seorang mahasiswa mengungkapkan keresahannya tentang masa depan, di situlah kehadiran parlemen diuji.

Kehadiran semacam ini akan meneguhkan kembali bahwa politik bukan dunia yang terpisah, melainkan bagian dari kehidupan sehari-hari rakyat.

Selain hadir, DPR juga perlu berani membuka diri soal transparansi. Selama ini, gaji, tunjangan, dan fasilitas anggota parlemen menjadi sorotan publik.

Rakyat boleh memahami bahwa jabatan politik membawa konsekuensi, termasuk hak finansial tertentu, tetapi ketika semua itu terlihat berlebihan, rasa keadilan pun terluka.

Bayangkan seorang guru honorer yang gajinya habis sebelum akhir bulan, sementara ia tetap diwajibkan membayar pajak, dibandingkan dengan seorang legislator yang pajaknya justru ditanggung negara.

Perbedaan semacam ini mengikis kepercayaan. DPR bisa mengubahnya dengan sederhana: membuka laporan keuangan secara rutin, mengurangi fasilitas yang tidak esensial, dan menunjukkan bahwa mereka tidak hidup di atas rakyat, melainkan bersama rakyat.

Keterbukaan bukan sekadar angka di laporan, melainkan sikap moral yang menunjukkan bahwa wakil rakyat tidak bersembunyi di balik tembok keistimewaan.

Langkah lain yang mendesak adalah menata ulang ukuran kinerja. Selama ini, publik lebih sering mendengar soal absensi anggota Dewan ketimbang soal kualitas kerja mereka.

Padahal rakyat ingin tahu, apa yang diperjuangkan wakilnya dalam sidang, bagaimana ia bersuara dalam pembahasan undang-undang, dan sejauh mana ia sungguh-sungguh mengawal aspirasi.

Bayangkan bila setiap anggota DPR diwajibkan melaporkan rekam jejaknya secara terbuka: berapa kali ia berbicara, isu apa yang ia angkat, undang-undang apa yang ia perjuangkan, dan bagaimana ia menindaklanjuti keluhan warga.

Laporan semacam itu akan membuat rakyat merasa bahwa wakilnya memang bekerja, bukan sekadar hadir. Namun, perbaikan DPR tidak bisa dilepaskan dari partai politik.

Parpol adalah dapur yang melahirkan calon legislator, dan kualitas dapur menentukan kualitas hidangan. Selama rekrutmen politik masih lebih mengandalkan loyalitas kepada ketua umum atau kemampuan finansial, sulit mengharapkan lahirnya negarawan.

Partai harus berani menyeleksi kader berdasarkan integritas, kapasitas, dan rekam jejak. Partai juga perlu menyediakan pendidikan politik yang menanamkan nilai pengabdian, bukan sekadar keterampilan memenangkan kursi.

Jika partai menata ulang dirinya, DPR akan terisi oleh orang-orang yang lebih siap bekerja untuk rakyat, bukan hanya untuk kepentingan sempit kelompoknya.

Agenda perbaikan berikutnya adalah arah legislasi. Undang-undang yang dilahirkan DPR seharusnya tidak hanya menjawab kepentingan elite, melainkan menyentuh kebutuhan dasar rakyat.

Pekerja informal membutuhkan perlindungan kerja, petani membutuhkan kepastian harga, masyarakat kecil membutuhkan hukum yang berpihak. Semua itu bisa diwujudkan bila DPR berorientasi pada keadilan sosial.

Filsafat John Rawls tentang keadilan yang memberi prioritas pertama pada mereka yang paling lemah bisa dijadikan kompas moral. Amartya Sen mengingatkan, kebebasan substantif bukan sekadar retorika, tetapi kebijakan konkret yang memastikan rakyat kecil bisa hidup bermartabat.

DPR dapat menjadikan prinsip-prinsip ini sebagai dasar dalam setiap pembahasan undang-undang. Etika juga harus mendapat perhatian besar. Tanpa etika, parlemen hanya akan menjadi arena transaksi.

Kode etik yang selama ini ada seharusnya dijalankan dengan sungguh-sungguh. Setiap pelanggaran harus ditindak tegas, tidak peduli siapa pelakunya. Publik berhak tahu rekam jejak etis setiap anggota, karena integritas tidak bisa dinegosiasikan.

Dengan menegakkan etika, DPR dapat menunjukkan bahwa ia tidak sekadar lembaga formal, tetapi institusi moral yang menjaga martabat bangsa. Era digital memberi peluang tambahan.

DPR dapat membangun platform keterbukaan yang memungkinkan publik mengakses informasi tentang kehadiran, voting, laporan reses, hingga laporan keuangan anggota.

Dengan begitu, rakyat tidak perlu menunggu laporan tahunan atau bergantung pada media. Mereka bisa memantau wakilnya secara langsung.

Di Korea Selatan, platform semacam ini sudah berjalan. Di negara-negara Skandinavia, keterbukaan data pejabat publik adalah hal biasa. Indonesia bisa belajar, dan bahkan melampaui, karena rakyat kita sesungguhnya sangat melek digital.

Semua langkah ini mungkin terdengar berat, tetapi sejatinya sederhana. Yang diperlukan hanyalah keberanian untuk berubah. Parlemen bisa memilih untuk terus berlindung di balik privilese, atau melangkah maju dengan membuka diri.

Rakyat sebenarnya tidak menuntut banyak. Mereka tidak meminta rumah dinas mewah, tidak meminta tunjangan komunikasi, tidak menuntut kehormatan dalam bentuk gelar atau fasilitas. Yang mereka minta hanya satu: keadilan.

Keadilan bahwa jerih payah mereka tidak diabaikan, suara mereka tidak dipandang remeh, dan kehidupan mereka dianggap layak diperjuangkan. Sejarah memperlihatkan bahwa lembaga yang berani mereformasi dirinya justru akan bertahan lebih lama.

Inggris pernah diguncang skandal biaya parlemen, tetapi justru dari sana lahir keterbukaan baru. Korea Selatan yang lama terjebak dalam konflik politik kini memperbaiki citranya dengan forum publik digital. Indonesia pun bisa melakukannya. Tidak ada alasan untuk pesimis.

Gus Dur pernah menyebut DPR seperti taman kanak-kanak, lalu mengoreksi ucapannya karena sadar anak-anak justru suci dan penuh potensi. Koreksi itu adalah pelajaran penting: jangan larut dalam sinisme, karena lembaga ini masih bisa tumbuh.

Parlemen Indonesia masih memiliki ruang untuk matang, untuk menjadi institusi yang melayani dengan rendah hati dan penuh keberanian. Pilihan kini ada di tangan DPR dan partai politik.

Mereka bisa tetap larut dalam pola lama, atau menjadikan kritik publik sebagai bahan bakar perubahan. Rakyat masih menunggu, dengan kesabaran yang luar biasa. Harapan itu belum padam.

Dan bila langkah-langkah perbaikan diambil dengan tulus, sejarah akan mencatat bahwa DPR pernah diuji, dan ia menjawab ujian itu dengan kedewasaan.[]

Penulis : Jannus TH Siahaan (Doktor Sosiologi)

Sumber : Kompas.Com

 

banner 350x350
Artikel ini telah dibaca 61 kali

badge-check

Redaksi

Baca Lainnya

Dari Limbah Jadi Berkah: USK Ubah Ampas Kelapa Sabang Jadi Tepung Bernilai Tinggi dengan Teknologi Tepat Guna

12 Oktober 2025 - 21:38 WIB

Tengkorak Manusia Ditemukan di Puskesmas Bukit Gadeng, Tim Inafis Polres Aceh Selatan Lakukan Olah TKP

12 Oktober 2025 - 20:53 WIB

Camat Kluet Selatan Gelar Sosialisasi Pilchiksung Serentak Tahun 2025

12 Oktober 2025 - 19:51 WIB

Wakil Gubernur Aceh Buka Pekan Kebudayaan Aceh Barat 2025

12 Oktober 2025 - 14:15 WIB

Santri Yayasan Pendidikan Hafizh Cendekia Kunjungi Laboratorium Lapangan Peternakan USK

12 Oktober 2025 - 11:34 WIB

Kancil, Rubah, dan Panggung Politik Hutan Raya

12 Oktober 2025 - 11:11 WIB

Trending di Cerpen