Oleh: Ayah Ilham
(Tulisan ini untuk renungan menyambut 10 Muharram / Asyura).
Hari ini , 10 Muharram. Hari yang sering kita kenal sebagai Asyura. Sebagian dari kita mungkin hanya mengingatnya sebagai hari puasa sunah, atau sekadar tanggal yang lewat begitu saja di kalender.
Tapi tahukah kita,pada hari yang sama, ribuan tahun silam, tanah Karbala di Irak menjadi saksi sebuah tragedi paling menyayat dalam sejarah umat Islam?
Di padang gersang itu, darah suci cucu kesayangan Nabi ﷺ, Sayyidina Husain bin Ali, tumpah. Tubuh mulia beliau dipenuhi luka.
Anak-anak kecil menangis kehausan, para perempuan Ahlul Bait meratap, sementara para syuhada satu demi satu gugur, mempertahankan kehormatan agama ini.
Hari itu, bumi menangis. Langit Karbala kelam. Sebab kezaliman telah menyelimuti hati manusia, sampai mereka tega membantai keluarga Nabi sendiri.
Dan kita harus bertanya, siapa yang sebenarnya membunuh Husain?
1. Yazid bin Mu‘awiyah: Singgasana Berdarah
Di Damaskus, Yazid duduk di singgasananya yang dingin. Ia mengirim titah:
“Paksa Husain berbaiat, atau perangi dia sampai tunduk.”
Ia tidak melihat tubuh Husain yang tercabik, tidak mendengar jeritan bayi-bayi yang haus. Tapi perintahnya meninggalkan luka abadi dalam sejarah umat ini.
2. Ibnu Ziyad: Sang Provokator Tanpa Nurani
Di Kufah, Ibnu Ziyad berdiri di mimbar, meniup api ketakutan:
“Siapa yang membantu Husain, akan kupenggal. Siapa yang melawan, akan kuberi harta dan kuangkat derajatnya.”
Orang-orang yang dulu menulis surat mengundang Husain justru ketakutan, mundur, bahkan berbalik memeranginya.
3. Umar bin Sa‘ad: Hati yang Lelah oleh Dunia
Putra sahabat Nabi, Umar bin Sa‘ad, berdiri di Karbala sebagai komandan pasukan.
Di hatinya ada ragu — ia tahu siapa Husain. Tapi janji jabatan di Rey melumpuhkan nuraninya. Demi dunia yang fana, ia pun mengangkat pedang melawan cucu Nabi.
4. Shimr bin Dzil-Jawsyan: Tangan Paling Kejam
Dan di antara semuanya, paling keji adalah Shimr. Ia berlari ke arah Husain yang sudah jatuh bersimbah darah.
Ia tikam tubuh suci itu, lalu memenggal kepalanya di depan tenda, di hadapan para perempuan dan anak-anak yang meraung histeris.
Ia menjadi simbol kebencian manusia yang membutakan hati.
5. Rakyat Kufah: Janji yang Berkhianat
Merekalah yang sebelumnya bersurat kepada Husain:
“Datanglah, kami ingin engkau memimpin kami melawan kezaliman.”
Tapi ketika pedang terhunus, mereka berpaling. Bahkan ikut menjadi bagian dari pasukan yang membantai beliau.
Karbala dalam Kehidupan Kita Sehari-hari
Karbala bukan sekadar kisah masa lalu. Karbala adalah cermin untuk kita semua hari ini:
Pernahkah kita diam saja saat kebenaran diinjak?
Pernahkah kita menjual nurani demi jabatan dan dunia, seperti Umar bin Sa‘ad?
Pernahkah kita khianat pada janji, seperti rakyat Kufah?
Atau, beranikah kita berdiri di pihak Husain? Meski sendiri. Meski hal kecil. Meski dunia menentang.
Hari ini, saat kita meneguk air untuk berbuka puasa Asyura, ingatlah bahwa di Karbala, bayi-bayi Ahlul Bait kehausan sampai menangis lirih, karena air sungai bahkan dihalangi untuk mereka.
Hari ini, saat kita mengenakan pakaian rapi, ingatlah tubuh suci Husain yang dicabik pedang dan dipijak kuda-kuda musuh.
Hari ini, saat kita merasa nyaman di rumah, ingatlah perempuan-perempuan Ahlul Bait (anak keturunan Rasulullah) yang tenda-tendanya dibakar dan mereka diseret sebagai tawanan.
Asyura, Janji pada Hati
Hari ini , saat kita berdoa, bisikkan di hati kita:
“Ya Allah, jangan jadikan aku seperti Yazid yang menodai kebenaran. Jangan jadikan aku seperti Ibnu Ziyad yang membunuh dengan lidah dan tipu daya.
Jangan jadikan aku seperti Umar bin Sa‘ad yang menjual nurani demi dunia. Jangan jadikan aku seperti rakyat Kufah yang berkhianat.”
“Teguhkan aku, ya Allah,.di jalan Husain. Jalan kebenaran yang mungkin sepi. Jalan keadilan yang penuh luka. Jalan surga yang berlumur darah para syuhada.”
Karena setiap tanah bisa menjadi Karbala.
Dan setiap hari bisa menjadi Asyura.
Dan setiap hati sedang diuji: di pihak siapa kita berdiri?
“Setiap hari adalah Asyura. Setiap tempat adalah Karbala. Dan setiap jiwa akan diuji: engkau di pihak siapa?”.[]
