Menu

Mode Gelap
 

Nasional · 25 Agu 2025 01:08 WIB ·

Rumah Rakyat, Istana Wakil


 Rumah Rakyat, Istana Wakil Perbesar

RUMAH, bagi rakyat, adalah ruang kecil yang dibangun dengan tabungan dan keringat bertahun-tahun. Dinding bata yang belum diplester, atap seng yang bocor kala hujan, atau kontrakan sempit yang digilir cicilan tiap bulan.

Ia berdiri sebagai tempat kembali, sekaligus doa agar tanah itu tak disapu gusuran proyek negara. Namun di Senayan, rumah punya makna lain. Rumah telah berubah menjadi tunjangan: Rp 50 juta per bulan.

Angka itu bukan dongeng, melainkan keputusan resmi negara. Melalui Surat Sekretaris Jenderal DPR No. B/733/RT.01/09/2024 tanggal 25 September 2024, ditetapkan bahwa mulai periode 2024–2029, anggota DPR tidak lagi menempati Rumah Jabatan Anggota (RJA), melainkan menerima tunjangan perumahan.

Sejak Oktober 2024, setiap anggota DPR non-pimpinan memperoleh Rp 50 juta per bulan. Angka ini bukan hasil rapat dadakan, melainkan mengikuti Standar Biaya Umum (SBU) yang ditetapkan Kementerian Keuangan.

Maka, dalam satu tahun, seorang anggota DPR menikmati Rp 600 juta. Dalam satu periode lima tahun, jumlahnya mencapai Rp 3 miliar.

Bila dikalikan 575 anggota non-pimpinan (dari total 580 anggota DPR, lima pimpinan mendapat rumah dinas), maka negara mengeluarkan sekitar Rp 345 miliar per tahun atau Rp 1,74 triliun dalam lima tahun hanya untuk biaya rumah wakil rakyat.

Sementara itu, jutaan keluarga pekerja masih menunggu janji subsidi rumah sederhana. Buruh kota masih menghuni kontrakan sempit, dengan upah bulanan yang tak sebanding dengan harga tanah.

Istana

Dengan Rp50 juta per bulan, seorang anggota DPR bisa menyewa rumah di Menteng dengan garasi empat mobil, vila modern di Kemang, atau apartemen premium di Sudirman dengan kolam renang infinity. Semua berjarak hanya beberapa menit dari gedung parlemen.

Rumah itu, dalam mata rakyat, bukan lagi sekadar hunian, melainkan istana. Di balik pagar tinggi, satpam berjaga, akses kartu eksklusif membuka pintu ke dunia lain. Istana ini menjadi metafora: semakin tinggi tunjangan, semakin jauh jarak antara rakyat dengan wakilnya.

Nama lembaga itu: Dewan Perwakilan Rakyat. Namun, apakah rakyat masih ada dalam bayangan para wakilnya? Rakyat yang rela membayar pajak, kini harus melihat uangnya dipakai untuk menyewakan rumah mewah bagi orang yang mereka pilih.

Sementara itu, RJA Kalibata dan Ulujami yang sejak Orde Baru menampung anggota DPR ditinggalkan. Rumah-rumah sederhana itu memang renta, atapnya bocor, lorongnya sempit. Namun, ia menyimpan simbol kesederhanaan.

Kini, menurut keputusan Setjen DPR, mulai tahun anggaran 2025, pemeliharaan RJA tak lagi dianggarkan. Asetnya akan diserahkan ke Kementerian Keuangan atau Sekretariat Negara. Politik selalu berbicara tentang pilihan moral.

Tunjangan perumahan DPR adalah politik jarak. Alasannya: efisiensi. Biaya perawatan rumah jabatan dianggap terlalu besar, sehingga tunjangan lebih masuk akal. Namun, politik bukan hanya kalkulasi efisiensi.

Efisiensi tanpa empati hanyalah angka dingin yang melupakan luka sosial. Politik, ketika kehilangan rasa, hanya melahirkan kebijakan yang tampak sah, tetapi kering dari nurani.

Secara hukum, tunjangan rumah DPR sah. Payungnya adalah UU No. 12 Tahun 1980 tentang Hak Keuangan dan Administratif Pimpinan serta Anggota Lembaga Tinggi Negara.

UU itu memberi dasar bahwa anggota DPR berhak atas fasilitas rumah. Besarannya ditentukan lebih lanjut lewat standar biaya Kemenkeu dan surat administratif DPR.

Namun, hukum tidak selalu sama dengan keadilan. Hukum memberi legitimasi, tetapi keadilan sosial tetap bergantung pada moral penguasa. Pertanyaan yang menggantung: apa pantas uang rakyat digunakan untuk membiayai istana wakil rakyat ketika rakyat sendiri tak mampu membangun rumah sederhana? Kalibata menyimpan ingatan: para anggota DPR dulu hidup di lorong-lorong yang sama.

Rumah itu sederhana, tidak mewah, tapi menegaskan pesan: wakil rakyat hidup berdampingan dengan rakyat. Ingatan itu kini pudar. Rumah jabatan ditinggalkan, simbol kesederhanaan terkubur.

Dan yang hilang bukan sekadar bangunan, melainkan pesan moral bahwa kekuasaan mesti dijalankan dengan kerendahan hati.

Inilah yang utama: moral politik. Negara mungkin sah memberi Rp 50 juta per bulan, tetapi sah tidak selalu pantas. Moralitas menuntut wakil rakyat peka pada derita yang membiayainya.

Tanpa transparansi, klaim efisiensi hanya memindahkan beban: dari pemeliharaan RJA ke APBN dengan nama tunjangan. Dan tanpa kepekaan, yang lahir bukan keadilan, melainkan jurang sosial yang semakin lebar.

Setiap kali rakyat mendengar angka Rp 50 juta, yang hadir adalah bayangan: dinding tinggi yang memisahkan, istana yang tak terjangkau, dan kursi yang semakin jauh dari suara rakyat. Bayangan ini menempel pada setiap keputusan, setiap sidang, setiap kebijakan DPR yang mengatasnamakan rakyat.

Ada masa ketika kesederhanaan dianggap keutamaan dalam kepemimpinan. Ada keyakinan bahwa politik harus menjadi alat kesejahteraan rakyat.

Dua teladan itu menjadi kontras bagi kenyataan hari ini: demokrasi dipertontonkan dalam angka tunjangan, bukan dalam pengorbanan.

Demokrasi tidak mati dengan satu keputusan. Ia perlahan keropos ketika wakil rakyat lebih sibuk membela fasilitasnya sendiri ketimbang membela rumah rakyat yang rapuh.

Tunjangan rumah DPR adalah cermin bangsa ini. Ia memantulkan pertanyaan: apakah kita bangsa yang rela membiayai kemewahan segelintir orang, atau bangsa yang menuntut moralitas di balik legalitas? Cermin itu retak.

Namun, justru dari retakan itu, kita bisa melihat kejujuran: demokrasi hanya bisa dipertahankan bila wakil rakyat kembali mengingat, rumah mereka sesungguhnya adalah rumah rakyat, bukan istana wakil.[]

Firdaus Arifin (Dosen Fakultas Hukum Universitas Pasundan & Sekretaris APHTN HAN Jawa Barat)

Sumber : Kompas.Com

 

banner 350x350
Artikel ini telah dibaca 62 kali

badge-check

Redaksi

Baca Lainnya

Dari Limbah Jadi Berkah: USK Ubah Ampas Kelapa Sabang Jadi Tepung Bernilai Tinggi dengan Teknologi Tepat Guna

12 Oktober 2025 - 21:38 WIB

Tengkorak Manusia Ditemukan di Puskesmas Bukit Gadeng, Tim Inafis Polres Aceh Selatan Lakukan Olah TKP

12 Oktober 2025 - 20:53 WIB

Camat Kluet Selatan Gelar Sosialisasi Pilchiksung Serentak Tahun 2025

12 Oktober 2025 - 19:51 WIB

Wakil Gubernur Aceh Buka Pekan Kebudayaan Aceh Barat 2025

12 Oktober 2025 - 14:15 WIB

Santri Yayasan Pendidikan Hafizh Cendekia Kunjungi Laboratorium Lapangan Peternakan USK

12 Oktober 2025 - 11:34 WIB

Kancil, Rubah, dan Panggung Politik Hutan Raya

12 Oktober 2025 - 11:11 WIB

Trending di Cerpen