Menu

Mode Gelap
 

News · 17 Sep 2025 08:05 WIB ·

Popularitas Vs Kapasitas, Mengapa Kualitas DPR Terus Dipertanyakan?


 Popularitas Vs Kapasitas, Mengapa Kualitas DPR Terus Dipertanyakan? Perbesar

YUSRIL Ihza Mahendra baru-baru ini, melontarkan kritik tajam terhadap sistem pemilu saat ini.

Menurut Yusril, sistem pemilu membuat politisi berbakat sulit muncul ke permukaan, sementara banyak kursi DPR justru diisi selebritas atau pesohor. Kondisi ini dianggap sebagai salah satu penyebab menurunnya kualitas DPR yang terus dipertanyakan.

Saat ini tercatat ada 24 anggota DPR dan DPD periode tahun 2024-2029, yang berasal dari kalangan selebriti (Cnbcindonesia.com). Fenomena politik yang menegaskan betapa kuatnya pengaruh popularitas dalam proses rekrutmen politik.

Jumlah ini menjelaskan bahwa partai politik cenderung mengandalkan modal sosial berupa popularitas untuk mendulang suara, ketimbang menjalankan proses kaderisasi politik yang berbasiskan kapasitas dan kompetensi.

Fenomena politisi yang berasal dari kalangan artis memang bukan satu-satunya faktor, karena akar persoalannya terletak pada struktur pemilu dan input partai politik.

Dengan biaya kampanye yang sangat besar dengan sistem berbasis suara terbanyak (proporsional terbuka), partai politik cenderung mengusung kandidat dari kalangan artis yang memiliki modal popularitas untuk mendongkrak elektabilitas.

Akibatnya, kandidat dengan kapabilitas memadai, tetapi kurang dikenal publik menjadi sulit bersaing.

Persoalan ini juga diperparah oleh peran media sosial yang sering kali mengonstruksi citra dan sensasi dibandingkan dengan menawarkan substansi kontestasi.

Seorang calon yang mudah “viral” lebih diuntungkan daripada seorang calon yang hanya menawarkan program kerja dan solusi atas ragam masalah rakyat, tapi tidak dikenal baik oleh publik.

Akibatnya, kualitas DPR akhirnya menjadi lemah dalam fungsi legislasi dan pengawasan. Menyalahkan politisi selebriti semata tidak akan menemukan keseluruhan jawaban.

Akar masalahnya pada desain institusi politik. Oleh karena itu, revisi Undang-undang Pemilu semestinya fokus untuk memperbaiki proses rekrutmen partai, transparansi anggaran dan mendorong literasi politik bagi pemilih.

Selama ini, proses rekrutmen partai tidak dijalankan secara berjenjang dan tidak berdasarkan kapabilitas kader, melainkan lebih menekankan popularitas dan ketokohan.

Partai politik bertumpu pada kandidat yang bisa menjadi pendulang suara (vote getter), yakni para selebriti dan tokoh besar. Padahal mereka belum tentu memiliki kapabilitas sebagai wakil rakyat.

Pernyataan Yusril berkorelasi saat putusan Mahkamah Konstitusi mengubah ketentuan penting dalam pemilu, yakni penghapusan ambang batas pencalonan presiden (presidential Threshold).

Putusan MK ini dalam praktiknya akan memperlebar pencalonan politik, yang bisa menjadi alasan bagi pemerintah untuk meninjau UU Pemilu serta UU partai politik.

Oleh karena itu, perlu dicatat bahwa perubahan aturan tanpa perencanaan institusional yang matang bisa memunculkan konsekuensi besar, yakni selesai dengan persoalan satu maka muncul persoalan baru.

Misalnya, kebijakan menaikan standar pendidikan minimum calon anggota legislatif barangkali akan efektif untuk menyeleksi figur selebriti.  Namun, di sisi lain akan mengecualikan individu yang memiliki kapasitas pada bidang tertentu atau malah mengurangi keragaman perwakilan politik.

Antara inklusivitas dan kualitas

Dalam sistem politik demokrasi kerapkali dibenturkan dengan dilema antara inklusivitas dan kualitas. Inklusivitas menegaskan transparansi agar publik bisa terlibat seluas-luasnya. Namun, inklusivitas tanpa alat ukur yang jelas akan berdampak menurunkan kualitas wakil rakyat.

Sebaliknya, jika hanya memilih kualitas dengan seleksi yang ketat, demokrasi dianggap elitis dan kehilangan sifat partisipasi masyarakat. Hal itu bertentangan dengan jargon demokrasi dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat.

Oleh karena itu, tantangan utama dalam menemukan keseimbangan tersebut dengan menjaga keterbukaan demokrasi dan sekaligus memastikan kapabilitas dan integritas wakil rakyat.

Jika tujuan reformasi untuk memperbaiki kualitas wakil rakyat (DPR), ada beberapa faktor penting yang lebih tepat daripada sekadar membidik politisi selebriti.

Pertama, perkuat internal partai politik. Partai harus menjalankan mekanisme penjaringan yang menekankan pada kompetensi dan rekam jejak kader.

Mempertimbangkan popularitas dan elektabilitas tentu tidak sepenuhnya salah, tetapi harus berpijak pada kapasitas dan rekam jejak.

Dalam demokrasi elektoral, popularitas dan elektabilitas memang menjadi faktor penting dalam menentukan peluang kemenangan seorang kandidat dalam kontestasi pemilu.

Namun, partai politik tidak boleh semata-mata terpaku pada aspek tersebut, partai mempunyai tanggung jawab besar untuk menjalankan tahapan rekrutmen yang berdasarkan pada kompetensi, integritas serta kualitas kader internal.

Dengan demikian, partai politik semestinya tidak sekadar berorientasi pada kemenangan jangka pendek yang selama ini menjadi prioritas dalam setiap kontestasi demokrasi, tetapi juga harus memastikan hadirnya wakil rakyat yang benar-benar mampu menjawab setiap persoalan publik yang semakin rumit.

Kemudian, partai politik mempunyai tanggang jawab untuk menciptakan kaderisasi yang berkelanjutan, menanamkan nilai-nilai integritas kepada kader, serta mengutamakan kepentingan publik di atas matematika elektoral semata.

Dengan cara seperti itu, partai diharapkan tidak hanya menjadi mesin politik dalam pemilu langsung, tetapi juga menjadi lembaga politik yang berkomitmen dalam memperjuangkan aspirasi masyarakat dan memperkokoh kualitas demokrasi.

Kedua, terkait dengan pendanaan dan batasan pengeluaran kampanye. Salah satu instrumen penting bagaimana pendanaan dan pengeluaran kampanye bisa menciptakan titik keseimbangan antara ketenaran dengan daya tarik personal dengan seorang calon yang menawarkan program substansial.

Dengan demikian, maka kontestasi tidak hanya dimenangkan bagi mereka yang mempunyai kekuatan finansial dan ketenaran, melainkan juga memberikan ruang bagi kandidat dengan berbasiskan kapasitas, visi dan misi yang jelas.

Kebijakan ini satu sisi juga mendorong partai politik untuk lebih memprioritaskan dalam menyeleksi kandidat serta mendorong untuk lebih fokus pada penyusunan program kerja yang sesuai dengan akar masalah di masyarakat.

Ketiga, literasi politik bagi publik. Literasi politik bagi publik menjadi faktor penting untuk memperkuat kualitas demokrasi.

Melalui pendidikan pemilih (voter education), pemilih tidak hanya terlibat untuk memahami tahapan pemilu, tetapi juga dibekali kemampuan membaca pesan politik secara kritis dan holistik.

Dengan demikian, mereka tidak akan terjebak pada pencitraan semu yang dikonstruksi melalui popularitas, kampanye berbiaya fantastis atau memanipulasi media.

Pemilih yang melek politik akan lebih rasional dan kritis dalam menentukan pilihannya, sehingga keputusan politik tidak hanya sekadar faktor emosional atau popularitas kandidat semata.

Selain itu, literasi politik juga mendorong publik untuk menilai kapasitas, rekam jejak, serta integritas calon secara obyektif.

Hal ini bisa menciptakan ekosistem politik yang produktif, karena partai politik akan terdorong untuk mencalonkan sosok yang berkualitas dan mempunyai visi jangka panjang yang berkelanjutan.

Dengan meningkatnya kesadaran kritis pemilih, diharapkan arah demokrasi bergerak menuju representasi dan tidak terjebak lagi dalam politik pencitraan.

Sejalan dengan pernyataan Yusril yang menilai sistem pemilu sekarang ini membuat kualitas DPR menurun karena banyaknya kursi diisi oleh selebriti atau pesohor, literasi politik menjadi relevan untuk memperkokoh posisi pemilih agar lebih kritis terhadap manipulasi dan pencitraan.

Jika publik mampu menilai kapabilitas dan integritas calon secara obyektif, maka insentif partai politik untuk mengusung figur popular akan semakin berkurang.

Dengan demikian, perubahan sistem pemilu yang diusulkan Yusril bisa berjalan seiring dengan peningkatan kualitas kesadaran politik warga.[]

Penulis : Muhamad Rosit (Dosen)

Sumber : Kompas.Com

banner 350x350
Artikel ini telah dibaca 24 kali

badge-check

Redaksi

Baca Lainnya

Dari Limbah Jadi Berkah: USK Ubah Ampas Kelapa Sabang Jadi Tepung Bernilai Tinggi dengan Teknologi Tepat Guna

12 Oktober 2025 - 21:38 WIB

Tengkorak Manusia Ditemukan di Puskesmas Bukit Gadeng, Tim Inafis Polres Aceh Selatan Lakukan Olah TKP

12 Oktober 2025 - 20:53 WIB

Camat Kluet Selatan Gelar Sosialisasi Pilchiksung Serentak Tahun 2025

12 Oktober 2025 - 19:51 WIB

Wakil Gubernur Aceh Buka Pekan Kebudayaan Aceh Barat 2025

12 Oktober 2025 - 14:15 WIB

Santri Yayasan Pendidikan Hafizh Cendekia Kunjungi Laboratorium Lapangan Peternakan USK

12 Oktober 2025 - 11:34 WIB

Kancil, Rubah, dan Panggung Politik Hutan Raya

12 Oktober 2025 - 11:11 WIB

Trending di Cerpen