Menu

Mode Gelap
 

News · 30 Jun 2025 00:27 WIB ·

MK ala Chef : Bongkar Pasang Pemilu


 MK ala Chef : Bongkar Pasang Pemilu Perbesar

DEMOKRASI Indonesia seperti masakan tanpa juru masak atau “chef”. Untuk pertama kali negeri kita menggelar pemilu nasional dan pemilu lokal (pemilihan kepala daerah) secara serentak pada 2024. Serentak di sini tidak menunjuk pada hari yang sama, melainkan tahun yang sama, berjarak 9,5 bulanan.

Ini adalah kelanjutan dari sifat serentak di Pemilu 2019 saat pemilihan anggota DPR, DPD, DPRD provinsi dan DPRD kabupaten/kota (Pileg) dilaksanakan berbarengan atau di hari yang sama dengan pemilihan presiden dan wakil presiden (Pilpres). Sebut saja “Pemilu 5 Kotak”.

Pemilu serentak tahun 2019 itu menerjemahkan putusan Mahkamah Konstitusi nomor 14/PUU-XI/2013. Sebelumnya, mulai dari 2004 hingga 2014, seluruh pemilu dilakukan terpisah dengan pemilihan anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, DPRD kabupaten/kota mendahului pemilihan presiden dan wakil presiden.

Sekarang, dua pilar dalam “Pemilu 5 Kotak” itu dicopot oleh MK lewat putusan nomor 135/PUU-XXII/2024 yang diajukan oleh Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem).

Mulai 2029 mendatang, pemilihan anggota DPRD provinsi dan anggota DPRD kabupaten/kota akan masuk satu rumpun dengan pemilihan kepala daerah (gubernur dan bupati/wali kota). Untuk gampangnya ini disebut pemilu lokal atau daerah. Putusan MK ini dibacakan pada Kamis, 26 Juni 2025.

Yang lebih drastis dan dramatis, MK memutuskan pemilu nasional dan pemilu lokal atau daerah tidak lagi digelar pada yang sama seperti 2024, tapi terpisah.

MK menetapkan waktu pemungutan suara pemilu lokal paling singkat dua tahun atau paling lama 2,5 tahun sejak pelantikan anggota DPR atau DPD atau pelantikan presiden dan wakil presiden.

Mulai 2029, pemilu nasional hanya untuk memilih anggota DPR, anggota DPD serta presiden dan wakil presiden. Pendek kata susut menjadi “Pemilu 3 Kotak”.

Kali ini MK menggantikan peran chef bagi demokrasi Indonesia, setidaknya dalam “masakan” yang bernama pemilihan umum dan bagaimana pemilu nasional dan pemilu lokal harus dilaksanakan.

Keputusan MK tak pelak mengganti model penyelenggaraan pemilu di level nasional dan lokal, dari serentak dalam tahun yang sama menjadi terpisah dengan jarak waktu paling singkat dua tahun. Putusan MK dapat dibilang maju, revolusioner dan agak keluar dari fungsi MK sebagai “negative legislator”.

I Dewa Gede Palguna saat masih menjadi Hakim Konstitusi (2008) menyatakan, meskipun MK dapat membatalkan undang-undang, tapi MK tidak dapat membuat putusan untuk melakukan perubahan terhadap UU. Itulah “negative legislator” yang melekat pada MK.

Menurut MK, putusan itu untuk menjaga kualitas pemilu, meningkatkan efisiensi penyelenggaraan, serta memberi ruang yang lebih baik bagi pemilih untuk menggunakan hak pemilih secara cermat dan tidak terburu-buru. Data Komisi Pemilihan Umum (KPU) menunjukkan, partisipasi pemilih di Pilkada 2024 sebesar 68,2 persen.

Itu lebih rendah dibandingkan Pemilu 2024 di mana partisipasi pemilih mencapai 81,78 persen. Apakah ini menjelaskan jarak waktu antara gelaran pemilu nasional dengan Pilkada (pemilu lokal) yang cuma 9,5 bulan bikin rakyat jenuh? Bisa iya, bisa tidak.

Dulu, sebelum ada rekayasa sistemik untuk menyelenggarakan Pilkada secara serentak, Pilkada bisa digelar setiap tiga hari sekali. Pilkada dimaksud berlangsung di tiga daerah berbeda, bisa tingkat provinsi, kabupaten atau kota. Hal ini bikin jenuh dan bosan rakyat di lapis bawah.

Seolah-olah tiada hari tanpa Pilkada. Saban tahun ada saja daerah yang menghelat Pilkada. Begitu jika kita menengok sejak Pilkada langsung pertama kali diadaptasi di Pilkada tahun 2005.

Pilkada serentak rangkap dua, yakni pemilu nasional dan pemilu lokal di tahun yang sama sesungguhnya adalah ikhtiar untuk memotong “persaingan politik” yang berlangsung maraton dan menyebabkan rakyat bosan dan jenuh dengan politik. Pilkada serentak pada 27 November 2024 itu, juga dilatarbelakangi keperluan sinkronisasi antara pusat dan daerah.

Di masa Presiden Joko Widodo, mencuat isu sinergitas dan koordinasi sehingga mendorong ide pemilu serentak di tahun yang sama untuk mengisi pemimpin di pusat dan daerah. Pemilu nasional dan pemilu lokal serentak di tahun yang sama baru dipraktikkan di tahun 2024.

Rasanya terlampau tergesa-gesa jika harus dirombak, diubah dan dibangun ulang. Ibarat kata “masakan” DPR, lewat UU 7/2017 tentang Pemilu dan UU 10/2016 tentang Pilkada, baru saja disajikan kepada rakyat Indonesia, kok cepat-cepat dicap agar disingkirkan dari daftar menu.

Sembilan hari sebelum MK menerbitkan putusan yang mengubah keserentakan pemilu, Ketua Komisi Hukum DPR Habiburokhman mengeluh soal MK. “Di DPR ini kadang-kadang kami capek bikin Undang-undang, dengan gampangnya dipatahkan oleh Mahkamah Konstitusi,” ujarnya dalam rapat dengar pendapat dengan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) dan Perhimpunan Advokat Indonesia (Peradi), Tempo.co, 18 Juni 2025.

Keluhan ini dapat dibaca bermacam-macam. MK dianggap menjadi institusi yang “mentorpedo” produk legislasi DPR atau ia sedang frustrasi dengan putusan-putusan MK? Selama MK konsisten dengan fungsi dan peran yang diamanatkan konstitusi, publik pasti akan berada di belakangnya.

Namun, sebagai institusi, MK pernah tergelincir tatkala memutuskan alias mengubah syarat usia minimal untuk calon presiden dan wakil presiden, tahun 2023 lalu. Putusan itu memberi karpet merah kepada Gibran Rakabuming Raka, putra sulung presiden saat itu Joko Widodo, untuk berlaga di pemilu 2024. Jadi, putusan nomor 135 ini pun harus ditakar untung dan ruginya, manfaat dan mudharatnya bagi gelaran pemilihan umum serta demokrasi Indonesia.

Konsekuensi pemisahan Pemilu Nasional dan Lokal

Konsekuensi pertama, jika pemilu lokal digelar dua tahun atau 2,5 tahun setelah pelantikan anggota DPR, DPD atau presiden dan wakil presiden, berarti seluruh provinsi, kabupaten dan kota akan mengalami kekosongan pemimpin dari 2029-2031.

Dan itu kolosal, meliputi 545 daerah, yakni 37 provinsi, 415 kabupaten dan 93 kota. Saat masa jabatan kepala daerah usai, maka pemerintah pusat harus mengisi atau menempatkan orang sebagai penjabat gubernur/bupati/wali kota.

Selama ini penjabat kepala daerah adalah orang pilihan presiden atau menteri dalam negeri atau kementerian dalam negeri. Keberadaan mereka ditunjuk, ditugaskan, dan bukan dipilih sebagaimana seorang kepala daerah. Sudah pasti legitimasi penjabat kepala daerah itu rendah, tapi mengambil keputusan penting, bahkan strategis di daerah mereka bertugas. Ini dilema penjabat yang terbaca di masa Jokowi.

Konsekuensi kedua, bagaimana dengan kursi anggota DPRD provinsi, DPRD kabupaten dan DPRD kota selama masa transisi menuju pemilu lokal serentak 2031 (jeda dua tahun atau 2,5 tahun dari pelantikan anggota DPR, DPD serta presiden dan wakil presiden)? Siapa yang akan dan bagaimana mengisinya? Total kursi DPRD kabupaten/kota saja menembus 17.510. Belum lagi anggota DPRD tingkat provinsi.

Haruskah anggota DPRD provinsi/kabupaten/kota periode 2024-2029 diperpanjang masa jabatannya hingga pemilu lokal atau Pilkada serentak 2031? Apakah model transisi begini sehat untuk menjalankan fungsi checks and balances? Tidakkah ini mengurangi kesempatan politikus lain di tingkat lokal atau kader partai di provinsi/kabupaten/kota yang mengincar kursi legislator tadi? Konsekuensi terakhir, berkaitan dengan aspek pendanaan. Biaya Pilkada serentak 2024 sekitar Rp 41 triliun.

Adapun anggaran pemilu nasional sebesar Rp 71,3 triliun. Total biaya pemilu nasional dan pemilu lokal di tahun 2024 menembus Rp 112,3 triliun. Dengan memasukkan pemilihan anggota DPRD provinsi/kabupaten/kota ke rumpun pemilu lokal, apakah biaya total pemilu yang digelar terpisah bakal tetap? Atau sebaliknya kian besar karena faktor inflasi? Kini, kerumitan, keruwetan, hingga dilema yang muncul menyusul keputusan MK ini perlu dikaji oleh pemerintah, DPR, KPU, organisasi sipil, peneliti hingga akademisi yang concern terhadap pemilu dan demokrasi di Tanah Air.

Momentum merevisi atau mengubah UU Pemilu dan UU Pilkada seyogyanya menjadi “moment of the truth” untuk memasak (baca: melahirkan) penyelenggaraan pemilihan umum yang meningkatkan kualitas demokrasi di negeri kita. Bongkar pasang desain atau rancangan gelaran pemilu yang terlalu sering, bukan zamannya lagi. Itu bisa menerbitkan apatisme publik.

Percaya dengan proses, jangan reaksioner. Dan agar produk legislasi DPR dan pemerintah, tidak kelewat sering diuji-materi (judicial review) ke MK, maka dua cabang kekuasaan yang berperan sebagai “positive legislator” itu wajib mengubah pendekatan.

Belakangan tuntutan “partisipasi yang bermakna” kian nyaring disuarakan masyarakat sipil, terutama setelah revisi Undang-Undang Tentara NasionaI Indonesia (UU TNI) dianggap kurang memperhatikannya. Kritik serupa dialamatkan ke DPR dan pemerintah menyangkut revisi UU BUMN serta revisi UU Mineral dan Batu Bara.

MK lewat putusan nomor 91/PUU-XVIII/2020 mengartikan meaningful participation sebagai: hak masyarakat untuk didengarkan pendapatnya, hak masyarakat untuk dipertimbangkan pendapatnya, dan hak masyarakat untuk mendapat penjelasan atau jawaban atas pendapat yang diberikan (hukumonline.com, 13 Juli 2022). Saya kira panduan MK tadi teramat jelas.

Jangan sampai DPR dan pemerintah jatuh di lubang yang sama gara-gara mengangkangi soal partisipasi publik yang bermakna.[]

Sumber : Kompas.Com

banner 350x350
Artikel ini telah dibaca 50 kali

badge-check

Redaksi

Baca Lainnya

Tak Terima Dituduh Hentikan Pembayaran Gaji Petugas Kebersihan, Ini Penjelasan Bupati Aceh Selatan

13 Oktober 2025 - 21:01 WIB

Kunker ke Pulo Aceh, Kak Na Semangati Lansia

13 Oktober 2025 - 20:44 WIB

Komisi II DPRK Aceh Selatan Pertanyakan Progres PT Arah Maju Produktif

13 Oktober 2025 - 20:33 WIB

APKASINDO : Sudah Saatnya Aceh Miliki Pabrik Minyak Goreng

13 Oktober 2025 - 20:28 WIB

Sekda Minta Distanbun Percepat Serapan Anggaran dan Tingkatkan Kinerja Lapangan

13 Oktober 2025 - 19:08 WIB

DPRK Minta Bupati Segera Menunjuk Pejabat untuk Badan Pendapatan

13 Oktober 2025 - 18:46 WIB

Trending di Daerah