Menu

Mode Gelap
 

News · 25 Sep 2025 10:33 WIB ·

Makan Bergizi Gratis: Antara Investasi Gizi dan Ancaman “Crowding Out” 


 Makan Bergizi Gratis: Antara Investasi Gizi dan Ancaman “Crowding Out”  Perbesar

KEBIJAKAN Makan Bergizi Gratis (MBG) yang dicanangkan pemerintah Indonesia memicu diskusi hangat di ranah publik, akademis, hingga politik.

Di satu sisi, gagasan menyediakan makanan sehat bagi pelajar sekolah merupakan investasi jangka panjang dalam meningkatkan kualitas sumber daya manusia, menekan angka stunting, dan memperkuat daya saing bangsa.

Namun di sisi lain, lonjakan alokasi anggaran yang mencapai ratusan triliun rupiah menimbulkan kekhawatiran mengenai keberlanjutan fiskal dan potensi menggeser prioritas pembangunan lainnya.

Fenomena inilah yang dalam teori ekonomi publik dikenal sebagai crowding out effect, yaitu ketika belanja pemerintah besar-besaran justru menyingkirkan peran sektor swasta, komunitas, atau bahkan rumah tangga dalam aktivitas yang sama.

Dilema tersebut menuntut analisis kritis: apakah MBG akan menjadi motor pembangunan manusia atau justru jebakan fiskal yang melemahkan partisipasi sosial?

Pertanyaan ini tidak bisa dijawab dengan slogan politik semata, melainkan perlu ditelaah dari kerangka ekonomi makro, desain kelembagaan, serta pengalaman internasional.

Dengan begitu, publik dapat menilai apakah program ini benar-benar inklusif dan memberdayakan, atau sekadar populisme fiskal dengan risiko crowding out yang nyata.

Risiko crowding out: Dari fiskal ke sosial Secara teoritis, crowding out effect terjadi ketika intervensi besar pemerintah mengurangi ruang gerak aktor lain—baik swasta maupun rumah tangga.

Dalam konteks MBG, risiko crowding out setidaknya muncul dalam empat lapisan. Pertama, crowding out fiskal. Anggaran MBG yang melonjak dari Rp 71 triliun pada 2025 ke proyeksi Rp 335 triliun pada 2026 menimbulkan tekanan serius pada ruang fiskal.

Jika pembiayaan dilakukan melalui utang, maka beban bunga meningkat dan potensi suku bunga riil naik, yang pada akhirnya menekan investasi swasta.

Bila bersumber dari pajak, risiko yang muncul adalah berkurangnya daya beli masyarakat dan investasi produktif di sektor lain.

Kedua, crowding out sektoral. Program makanan gratis berskala nasional berpotensi mendesak peran kantin sekolah, UMKM katering, atau koperasi pangan yang selama ini memasok kebutuhan siswa.

Bila distribusi dikendalikan oleh segelintir kontraktor besar, maka pelaku ekonomi kecil akan tersingkir dari rantai pasok.

Ketiga, crowding out sosial. Dalam banyak kasus internasional, ekspansi program publik menurunkan partisipasi filantropi atau gotong royong masyarakat.

Misalnya, orangtua yang sebelumnya terbiasa menyiapkan bekal sehat bagi anaknya dapat menjadi pasif, dengan asumsi negara sudah menanggung kebutuhan tersebut.

Keempat, crowding out perilaku. Ada potensi terbentuknya moral hazard di tingkat rumah tangga, di mana kepedulian terhadap gizi keluarga menurun karena tanggung jawab dipindahkan sepenuhnya ke sekolah.

Jika tidak dikelola dengan hati-hati, maka kebijakan ini dapat menimbulkan ketergantungan baru yang justru melemahkan kemandirian keluarga dalam membangun pola makan sehat.

Pelajaran dari India dan Brasil Meskipun risiko crowding out nyata, pengalaman negara lain menunjukkan arah berbeda: kebijakan makan gratis bisa menghasilkan crowding in, yakni mendorong partisipasi dan investasi baru di masyarakat.

India, melalui program “Mid-Day Meal”, terbukti meningkatkan kehadiran siswa dan hasil belajar, sekaligus mengurangi angka malnutrisi.

Efek jangka panjangnya tidak hanya pada perbaikan gizi, tetapi juga peningkatan produktivitas generasi muda. Artinya, intervensi negara justru memperkuat motivasi rumah tangga untuk mengirim anak ke sekolah.

Contoh lain yang lebih relevan untuk desain rantai pasok datang dari Brasil. Melalui Programa Nacional de Alimentação Escolar (PNAE), pemerintah mewajibkan minimal 30 persen bahan pangan untuk makan sekolah dibeli dari petani keluarga.

Kebijakan ini bukan hanya memastikan keberlanjutan pasokan lokal, tetapi juga meningkatkan pendapatan petani kecil hingga dua kali lipat. Dengan kata lain, belanja negara tidak meminggirkan sektor lokal, melainkan menciptakan pasar baru yang inklusif.

Inilah yang disebut sebagai crowding ini ketika intervensi fiskal besar justru memicu aktivitas ekonomi baru dari aktor non-negara.

Kedua kasus tersebut mengandung pesan penting bagi Indonesia: program MBG tidak harus terjebak dalam sentralisasi dan monopoli pemasok.

Jika disertai regulasi yang pro-lokal, transparansi kontrak, dan pembinaan rantai pasok, maka program ini dapat menciptakan efek pengganda (multiplier effect) ke pertanian, UMKM, dan koperasi sekolah.

Dengan kata lain, MBG bisa menjadi strategi pembangunan terpadu, bukan sekadar subsidi konsumsi. Untuk menghindari jebakan crowding out dan meraih peluang crowding in, desain MBG perlu diarahkan pada prinsip keberlanjutan, keterlibatan lokal, dan akuntabilitas.

Ada tiga rekomendasi utama yang krusial. Pertama, tata kelola fiskal bertahap. Kenaikan anggaran harus mengikuti kerangka belanja jangka menengah yang realistis, bukan lonjakan drastis yang berisiko menggerus sektor lain.

Penganggaran MBG juga tidak boleh mengorbankan pos pendidikan inti, seperti peningkatan kualitas guru atau fasilitas sekolah, sebagaimana kritik yang sempat disuarakan sejumlah lembaga masyarakat sipil.

Kedua, arsitektur rantai pasok inklusif. Pemerintah perlu menetapkan kuota pembelian minimal dari petani lokal, koperasi, dan UMKM katering, dengan skema kontrak kecil yang terjangkau.

Skema hybrid dapat diterapkan: voucher makan yang bisa digunakan di kantin sekolah atau mitra lokal di daerah dengan kapasitas cukup, sementara dapur terpusat hanya berfungsi sebagai penyangga di daerah terpencil.

Dengan desain ini, belanja negara akan mendorong tumbuhnya usaha lokal alih-alih mematikannya. Ketiga, integrasi edukasi gizi dan partisipasi komunitas.

MBG seharusnya tidak hanya berhenti pada distribusi makanan, tetapi juga menjadi sarana pembelajaran tentang pola makan sehat.

Orangtua dan masyarakat dapat dilibatkan dalam perencanaan menu, sehingga rasa memiliki terhadap program meningkat dan risiko ketergantungan menurun.

Selain itu, kolaborasi dengan sektor swasta atau filantropi dapat diarahkan pada penyediaan tambahan nutrisi seperti susu atau buah tanpa menggantikan peran negara, melainkan memperkuatnya.

Pada akhirnya, Makan Bergizi Gratis adalah kebijakan besar yang menyimpan potensi ganda: menjadi investasi jangka panjang bagi kualitas sumber daya manusia atau berubah menjadi beban fiskal yang menyingkirkan peran masyarakat.

Kunci terletak pada desain kebijakan. Jika dijalankan secara terpusat dan boros, crowding out hampir pasti terjadi, baik di level fiskal maupun sosial.

Namun bila dilaksanakan dengan prinsip inklusivitas, akuntabilitas, dan pemberdayaan lokal, MBG justru dapat menjadi instrumen crowding in yang memperkuat ekosistem pangan, mendorong ekonomi lokal, sekaligus membangun generasi sehat dan cerdas.

Dengan demikian, perdebatan publik seharusnya tidak terjebak pada pro-kontra retorik, melainkan diarahkan pada bagaimana program ini dikelola.

MBG bukan hanya soal memberi makan, melainkan soal bagaimana Indonesia memilih jalan pembangunan manusia: apakah melalui subsidi konsumtif yang melemahkan, atau melalui intervensi strategis yang memberdayakan.[]

Sumber : Kompas.Com

banner 350x350
Artikel ini telah dibaca 54 kali

badge-check

Redaksi

Baca Lainnya

Camat Kluet Selatan Gelar Sosialisasi Pilchiksung Serentak Tahun 2025

12 Oktober 2025 - 19:51 WIB

Wakil Gubernur Aceh Buka Pekan Kebudayaan Aceh Barat 2025

12 Oktober 2025 - 14:15 WIB

Santri Yayasan Pendidikan Hafizh Cendekia Kunjungi Laboratorium Lapangan Peternakan USK

12 Oktober 2025 - 11:34 WIB

Kancil, Rubah, dan Panggung Politik Hutan Raya

12 Oktober 2025 - 11:11 WIB

Cabut Rekomendasi IUP PT Laguna Jaya Tambang, Masady Manggeng Mengaku Salut Langkah Tegas Bupati Abdya

12 Oktober 2025 - 11:00 WIB

Gerakan Gampong Magrib Mengaji, Program Kerja 100 Hari Tanpa Aksi

12 Oktober 2025 - 08:45 WIB

Trending di Editorial