ASPIRATIF|ACEH SELATAN – Ketua Ikatan Kontraktor Aceh (IKA), Muzakir, mendesak pemerintah daerah untuk menegakkan transparansi dalam proses pengadaan barang dan jasa, baik melalui e-katalog, tender terbuka, maupun penunjukan langsung (PL). Praktik kolusi, korupsi, dan nepotisme (KKN) masih membayangi pelaksanaan proyek-proyek pemerintah, terutama di lingkungan Pemerintah Aceh.
“Sudah menjadi rahasia umum, pemenang tender proyek biasanya sudah ditentukan sejak awal. Praktik seperti ini mencederai prinsip keadilan dan persaingan sehat,” ujar Muzakir
Muzakir menyayangkan maraknya praktik kongkalikong/persekongkolan yang terjadi dalam proses tender. Dugaan permainan setor-menyetor yang kerap menjadi syarat tak tertulis bagi perusahaan untuk memenangkan proyek, sering kali pemenang tender ditentukan bukan berdasarkan kualitas penawaran atau kompetensi, melainkan karena nilai setoran yang lebih besar.
Dalam pengamatannya, proyek-proyek di sejumlah Satuan Kerja Perangkat Aceh (SKPA), didominasi oleh mekanisme Penunjukan Langsung (PL) dan E–Purchasing /E-Katalog.
Adanya celah hukum yang kerap dimanfaatkan untuk memecah-mecah paket pekerjaan agar dapat dialihkan dari Tender ke penunjukan langsung dan dari seharusnya di tenderkan menjadi paket E – Purchasing / E Katalog, seperti sebagaimana kita ketahui kejadian Kegiatan tahun 2024 di Badan Reintegrasi Aceh (BRA), Tahun 2025 kegiatan di Dinas Pendidikan Aceh dan juga sejumlah SKPA lainnya.
“Tegas Muzakkir, adanya celah hukum yang dimamfaatkan oleh oknum untuk mengatur hal tersebut, biasanya proyek yang bersifat tender dipecah-pecah untuk memenuhi syarat pekerjaan PL / E – Purchasing / E Katalog atau seharusnya Di Tenderkan secara bebas proyek tersebut dijakan / E – Purchasing / E Katalog walaupun nilainya besar. Kalau kita cek LPSE Provinsi Aceh, kebanyakan proyek ditayangkan sebagai PL. Padahal, di aplikasi SIRUP tercatat banyak kegiatan yang semestinya ditenderkan dan tidak semua kegiatan dijadikan sapi perah E – Purchasing / E Katalog,” lanjutnya.
Menurut Muzakir,praktik manipulasi pengadaan ini dapat melanggar sejumlah ketentuan hukum, termasuk Pasal 3 dan Pasal 5 UU Tipikor, yang mengatur soal penyalahgunaan kewenangan dan gratifikasi dalam proses pengadaan.
“Jika terbukti ada pengaturan proyek oleh oknum Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) atau Pengguna Anggaran (PA), maka hal itu dapat dikategorikan sebagai perbuatan melawan hukum yang merugikan keuangan negara,” sebutnta.
Selanjutnya, terdapat berbagai bentuk persekongkolan dalam pelaksanaan tender, yang umumnya dikategorikan ke dalam tiga jenis: persekongkolan horizontal, vertikal, dan gabungan keduanya.
Pertama, persekongkolan horizontal merupakan bentuk kolusi yang terjadi di antara sesama peserta tender. Dalam praktiknya, para peserta tender bersepakat terlebih dahulu untuk menentukan siapa yang akan menjadi pemenang.
Mereka saling bertukar informasi, menaikkan atau menurunkan harga penawaran secara strategis demi kepentingan kelompok. Sebagai kompensasi, peserta yang sengaja dikalahkan akan diberikan pekerjaan sebagai subkontraktor oleh pemenang tender, atau dijanjikan kemenangan dalam tender selanjutnya.
Kedua, persekongkolan vertikal terjadi antara peserta tender dan panitia lelang atau pihak pengguna barang dan jasa. Dalam bentuk ini, panitia tender memberikan kemudahan atau keistimewaan dalam pemenuhan persyaratan kepada salah satu peserta agar dapat memenangkan proses lelang secara formal, meskipun secara substansi telah direkayasa.
Ketiga, kombinasi antara persekongkolan horizontal dan vertikal melibatkan seluruh aktor dalam proses pengadaan baik panitia, peserta, maupun pengguna jasa.
Proses tender dijalankan secara administratif semata dan bersifat tertutup, tanpa persaingan riil. Pola ini sering disebut sebagai tender fiktif, karena pemenangnya telah ditentukan sejak awal dan proses hanya dijalankan sebagai formalitas administratif.
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja secara eksplisit memberikan definisi mengenai praktik semacam ini. Disebutkan bahwa:
“Persekongkolan atau Konspirasi Usaha adalah bentuk kerja sama yang dilakukan oleh pelaku usaha dengan pelaku usaha lain dengan maksud untuk menguasai pasar bersangkutan bagi kepentingan pelaku usaha yang bersekongkol.”
“Merespon fenomena tersebut, Ketua Ikatan Kontraktor Indonesia (IKA), Muzakir, menyerukan agar aparat penegak hukum seperti Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Kejaksaan turun tangan menindak tegas praktik-praktik kotor tersebut.”pungkasnya.[]
