Oleh: Baihaki, Abi Rausan
Muhammad Rausan Fikri Al Bairi. Lahir di Desa Pulo Ie pada 12 Januari 2011. Usianya baru 14 tahun, baru saja naik ke kelas IX Madrasah Tsanawiyah Kluet Utara, Aceh Selatan. Ia anak sulung kami kebanggaan, cahaya, dan harapan yang senantiasa tumbuh di tengah segala keterbatasan.
Namanya diberikan oleh sahabat saya, Anies Kandang dari Menggamat. Sejak dalam kandungan, Rausan telah ikut berjuang bersama ibundanya.
Ia “anak kost” pertama yang menemani ibu kuliah di IAIN Ar-Raniry ikut serta dari ruang kuliah, ruang ujian, PPL, hingga menyaksikan sang ibu diwisuda. Karena itu, saya sengaja menjahitkan baju toga kecil untuknya. Sebab, bagiku dia juga layak diwisuda.
Di rumah, ia anak yang sederhana dan ceria. Sepulang sekolah, bermain seperti anak seusianya. Namun saat malam tiba, ia pergi mengaji ke pesantren di Desa Jambo Manyang. Tak banyak bicara, tapi percaya diri luar biasa.
Di setiap peringatan Maulid Nabi, Isra’ Mikraj, dan acara besar Islam lainnya, ia tampil gagah di atas mimbar, menyampaikan pidato dengan semangat, dan membawa pulang piala untuk keluarga.
Rausan juga sosok kakak yang penyayang. Ia antar-jemput adik-adiknya mengaji, menyuapi mereka makan, dan menjaga mereka seolah mengerti betapa ayahnya jauh merantau mencari rezeki.
Duka Itu Datang Secara Mendadak
Rabu malam, istri saya mengirim foto. Di situ terlihat Rausan sedang diinfus di rumah, dengan perban di dadanya karena sempat terjatuh saat bermain bola.
Saya tak terlalu cemas. Malam Jumatnya, ia bahkan bercanda via pesan suara, meminta voucher internet agar bisa mengecek pesan dari wali kelasnya. Ia juga minta dibelikan pizza dan martabak Mesir makanan kesukaannya.
Wali kelasnya sempat memberi kabar, Senin nanti Rausan mendapat tugas membaca doa saat upacara. Jumat pagi ia semangat ingin ke sekolah, mengambil teks doanya. Tapi, sesaat sebelum mandi, ia tiba-tiba jatuh pingsan.
Kami larikan ia ke Puskesmas Kluet Utara, lalu dirujuk ke RSUYA Tapaktuan karena sudah koma. Istri saya mengabarkan bahwa kondisinya kritis. Saya langsung bersiap pulang dari Banda Aceh. Tapi tidak ada satu pun mobil ke Aceh Selatan pagi atau siang itu.
Saya memutuskan ikut Hiace ke Singkil yang berangkat pukul lima sore. Namun saat dalam perjalanan menuju terminal, istri mengabari bahwa kondisi Rausan semakin menurun. Saya makin gelisah lalu memutuskan ke Bandara Blang Bintang. Sayangnya, pesawat ke Tapaktuan baru tersedia hari Selasa.
Tanpa pikir panjang, saya sewa mobil Innova, walau mahal, asalkan saya bisa cepat tiba. Delapan jam lebih saya tempuh dalam gelisah, berharap semoga Allah izinkan saya melihat wajah anakku tersayang untuk yang terakhir kali.
Saya tiba pukul 22.00 WIB. Langsung menuju ruang ICU. Rausan ternyata sudah dua kali koma sebelumnya. Dan pada koma ketiga, pukul 23.00 WIB tepat satu jam setelah saya tiba Rausan menghembuskan napas terakhirnya. Seolah ia memang menunggu saya. Menanti ayahnya sampai, sebelum benar-benar pergi untuk selamanya.
Dokter menyampaikan bahwa ada pembengkakan di bagian dalam kepala. Selama ini, Rausan memang sesekali mengeluh sakit kepala, tapi biasanya sembuh setelah diberi obat. Tak pernah kami bawa untuk dirontgen.
Hari ini, Minggu 20 Juli 2025, adalah hari kedua putra sulungku berbaring dalam damai di liang kubur. Suara azannya saat Maghrib dan Isya takkan lagi menggema dari rumah kami. Tak ada lagi lantang pidatonya di atas mimbar. Tak ada lagi permintaan pizza dan tawa kecilnya yang khas.
Rausan, anakku,.muazzin kecilku, juara pidatoku,.engkau belum baligh. Maka insya Allah, surga telah menantimu. Tunggulah ayah, ibu, dan adik-adikmu di sana. Kelak kita akan berkumpul kembali.
Selamat jalan, cahaya hidup kami. Selamat jalan, bintang kecil kami.[]
Pulo Ie, Sabtu, 20 Juli 2025
Baihaki Abi Rausan yang sedang berduka.
