Oleh: Tgk. Ilham Mirsal, MA.
PENYELESAIAN sengketa tanah dalam masyarakat Aceh adalah sebuah warisan yang kaya, terangkai dalam jalinan Hukom Adat Aceh. Sistem ini bukan sekadar aturan formal, melainkan cerminan filosofi hidup yang mengedepankan musyawarah mufakat, semangat kekeluargaan, dan penyelesaian damai melalui peran sentral Imum Mukim, Keuchik, dan Teungku Adat.
Tujuan utamanya adalah menjaga keharmonisan sosial dan menghindari keretakan dalam tatanan masyarakat. Namun, di tengah modernisasi dan hegemoni hukum negara, sistem adat ini kerap dihadapkan pada ujian berat, terutama dalam isu batas wilayah yang melibatkan administrasi pemerintahan.
Dilema Empat Pulau: Adat Berbenturan Administrasi.
Kasus pengesahan empat pulau yang secara geografis dan historis terkait dengan Aceh, yaitu Pulau Mangkir Gadang, Pulau Mangkir Ketek, Pulau Lipan, dan Pulau Panjang, menjadi bagian dari Sumatera Utara oleh Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) yang tertuang dalam SK Nomo 050-145, adalah sebuah manifestasi nyata dari benturan ini.
Keputusan Kemendagri, yang terkesan unilateral dan minim pelibatan komponen masyarakat serta perangkat adat Aceh (Pemerintah Aceh), telah memicu gejolak dan tanda tanya besar di Bumi Serambi Mekkah.
Dari sudut pandang Hukom Adat Aceh, tanah dan wilayah bukan sekadar bidang datar dengan batas-batas imaginer. Ia adalah bagian integral dari identitas komunal, sumber kehidupan, dan warisan leluhur.
Hak ulayat, sejarah kepemilikan turun-temurun, serta pemanfaatan sumber daya secara tradisional oleh komunitas adat adalah pilar utama dalam penentuan yurisdiksi.
Oleh karenanya, ketika Kemendagri mengesahkan empat pulau tersebut sebagai bagian dari Sumatera Utara tanpa mengindahkan dimensi adat ini, hal itu dianggap sebagai bentuk pengabaian terhadap kearifan lokal dan hak-hak asasi masyarakat adat Aceh. Ini bukan hanya soal administrasi, melainkan soal harga diri, sejarah, dan masa depan.
Sebagai seorang masyarakat Aceh, dan seorang akademisi yang mendalami tentang kajian Aceh, saya melihat kasus ini dengan penuh keprihatinan. Ada beberapa poin krusial yang perlu digarisbawahi:
Pertama, pengakuan dan perlindungan terhadap hukum adat harus menjadi prioritas utama dalam setiap penetapan batas wilayah.
Hukum adat, dengan segala kompleksitas dan kekayaan nilainya, harus ditempatkan sebagai entitas yang setara dengan hukum positif negara, bukan sekadar pelengkap atau formalitas.
Keputusan yang hanya bertumpu pada aspek legalistik-administratif negara tanpa mengakomodasi dimensi adat akan menciptakan ketidakadilan struktural dan potensi konflik berkepanjangan.
Kedua, prinsip partisipasi yang bermakna adalah keniscayaan. Dalam konteks adat Aceh, setiap keputusan yang menyangkut hajat hidup orang banyak, khususnya tanah dan wilayah, wajib melalui proses musyawarah yang melibatkan seluruh pemangku kepentingan: pemerintah daerah, tokoh adat, ulama, dan perwakilan masyarakat.
Absennya partisipasi ini dalam kasus empat pulau tidak hanya menunjukkan cacat prosedural, tetapi juga cacat etika dalam tata kelola pemerintahan yang baik. Ini mengikis kepercayaan publik terhadap negara.
Ketiga, dampak jangka panjang dari keputusan ini terhadap kehidupan masyarakat pesisir Aceh yang secara turun-temurun telah memanfaatkan dan bergantung pada sumber daya di pulau-pulau tersebut adalah sesuatu yang tidak boleh diabaikan.
Pengalihan yurisdiksi ini berpotensi merampas hak-hak nelayan dan masyarakat lokal Aceh atas wilayah kelola mereka, mengancam mata pencarian, dan melumpuhkan tradisi yang telah terpelihara berabad-abad.
Jalan Keluar: Membangun Jembatan antara Adat dan Negara
Kasus empat pulau ini adalah lonceng peringatan bagi kita semua. Ini mendesak evaluasi ulang terhadap cara negara berinteraksi dengan hukum adat dan hak-hak masyarakat adat dalam penyelesaian sengketa wilayah. Langkah-langkah konkret yang harus segera ditempuh adalah:
Dialog Inklusif: Memulai kembali dialog dan mediasi yang jujur antara pemerintah pusat, Pemerintah Aceh, Pemerintah Sumatera Utara, dan yang paling penting, perwakilan masyarakat adat Aceh.
Keterlibatan Ahli: Melibatkan para ahli hukum adat, sejarawan, dan antropolog Aceh untuk memberikan perspektif komprehensif yang melampaui sebatas peta administrasi.
Penguatan Kerangka Hukum: Membangun kerangka hukum nasional yang lebih jelas dan inklusif, yang secara eksplisit mengakui dan memberikan kekuatan hukum pada sistem adat dalam penyelesaian sengketa tanah dan batas wilayah. Ini bukan hanya tentang menjamin keadilan bagi masyarakat adat, tetapi juga tentang memperkuat kohesi sosial dan stabilitas regional.
Mengabaikan suara adat berarti mengabaikan akar budaya dan identitas sebuah bangsa. Tanpa penghargaan yang layak terhadap kearifan lokal, potensi konflik serupa di masa depan akan terus membayangi, mengancam persatuan di tengah keberagaman.
Bagaimana menurut Anda, apakah kasus ini seharusnya menjadi momentum bagi negara untuk lebih serius mengakui dan melindungi hak-hak masyarakat adat?.[]
Penulis adalah Dosen STAI Tapaktuan Aceh Selatan, Dewan Penasehat DPC. Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI) Aceh Selatan.