Menu

Mode Gelap
 

News · 14 Okt 2025 20:59 WIB ·

Kesetiaan Setelah Sorak Kemenangan


 Foto : Hanzirwansyah, Sekretaris Tim Pemenangan Pasangan MANIS Pilkada 2024 lalu Perbesar

Foto : Hanzirwansyah, Sekretaris Tim Pemenangan Pasangan MANIS Pilkada 2024 lalu

Oleh: Hanzirwansyah ST (Bg Iwan)
(Sekretaris Umum Pemenangan Pasangan H Mirwan MS- H Baital Mukadis (MANIS) Pada Pilkada Aceh Selatan 2024 Lalu)

Kemenangan politik sejatinya bukanlah garis akhir, melainkan gerbang awal menuju ujian moral yang sesungguhnya. Ketika euforia mulai mereda dan panggung pesta demokrasi dibongkar, yang tersisa bukan lagi sorak dan spanduk, melainkan tanggung jawab kepada rakyat, kepada pemimpin yang diusung, dan kepada nurani sendiri.

Dalam riuh kemenangan, mudah bagi siapa pun untuk merasa telah menunaikan tugas. Namun dalam sunyi setelahnya, kesetiaan sejati diuji. Pendukung sejati bukan mereka yang hanya hadir saat kampanye bergelora, melainkan yang tetap setia mengawal arah perjalanan pemerintahan ketika semua sorotan lampu padam.

Filsuf Yunani kuno, Aristoteles, pernah menulis bahwa politik yang luhur adalah “seni mengupayakan kebaikan bersama.” Kemenangan dalam pilkada hanya berarti sejauh mana ia mengantarkan masyarakat menuju kebaikan itu.

Maka, tanggung jawab moral para pendukung sejatinya tidak berhenti pada keberhasilan mengantarkan pemimpin ke kursi kekuasaan, tetapi memastikan kekuasaan itu digunakan demi rakyat, bukan demi segelintir kepentingan.

Demokrasi tidak tumbuh dari euforia, melainkan dari kesadaran kolektif untuk terus menjaga arah kebijakan agar tetap berpihak pada yang lemah.

Pendukung sejati adalah penjaga moral kekuasaan, bukan penggembira yang datang dan pergi mengikuti arus. Mereka hadir bukan untuk menuntut imbalan, melainkan untuk menuntut keteguhan pada janji.

Mengawal dengan Hati, Bukan Hasrat

Ada masa di mana perjuangan tampak mudah karena musuh politik jelas terlihat. Namun setelah menang, “musuh” itu berubah wujud, bukan lagi lawan di luar, melainkan godaan dari dalam berupa kepentingan, ketamakan, dan lupa diri. Di sinilah arti dukungan sejati menemukan bentuknya.

Pendukung sejati tidak menutup mata terhadap kekeliruan. Mereka mengingatkan bukan untuk menjatuhkan, tetapi untuk menegakkan kembali niat awal perjuangan.

Kritik yang lahir dari kasih sayang jauh lebih bernilai daripada pujian yang membutakan. Dalam konteks ini, loyalitas bukanlah soal membenarkan yang salah, melainkan berani meluruskan demi kebaikan bersama.

Jean Jacques Rousseau, dalam The Social Contract, menulis bahwa kekuasaan sejati bersumber dari kehendak rakyat. Maka siapa pun yang pernah ikut memperjuangkan kemenangan politik harus menyadari bahwa mandat rakyat bukan milik individu, tetapi amanah bersama.

Menjaganya berarti terus memastikan pemerintahan berjalan di rel yang benar dengan transparan, adil, dan berpihak kepada masyarakat kecil.

Sebaliknya, ketika pendukung mulai menyalurkan aspirasi melalui jalur-jalur kepentingan pribadi, semangat perjuangan itu mulai ternoda.

Tidak sedikit gerakan politik yang terpecah bukan karena kalah di medan pemilu, tetapi karena kemenangan yang gagal dijaga dengan hati yang bersih.

Menang memang menggembirakan, tetapi jauh lebih mulia menjaga agar kemenangan itu tidak mengkhianati cita-cita yang diperjuangkan.

Dalam sejarah panjang bangsa ini, banyak kemenangan yang berakhir sebagai tragedi karena lupa bahwa kekuasaan tanpa moral hanyalah kesombongan yang ditunda kejatuhannya.

Menjadi Penjaga Cahaya

Setelah semua bendera dilipat dan panggung dibongkar, peran setiap pendukung bergeser dari pejuang menjadi penjaga. Penjaga cita, penjaga moral, penjaga arah. Karena demokrasi tidak hanya membutuhkan pemimpin yang kuat, tetapi juga pendukung yang matang.

Kesetiaan sejati bukanlah tentang siapa yang paling dekat dengan kekuasaan, tetapi siapa yang paling berani menjaga integritas perjuangan. Kadang, menjaga berarti diam dan bekerja.

Kadang pula berarti berbicara, mengingatkan, dan menegur. Semua dilakukan bukan karena ingin tampil, tetapi karena ingin menjaga agar sinar kemenangan tidak padam ditelan gelapnya kepentingan.

Dalam falsafah Aceh dikenal ungkapan, “Meurah that lam peuget, tapi that ngon hate (besar dalam perjuangan, tapi lembut dalam hati).

Itulah semangat yang semestinya menuntun langkah para pendukung sejati setelah kemenangan. Bahwa solidaritas bukanlah tentang siapa yang mendapatkan apa, melainkan tentang siapa yang tetap berdiri bersama ketika tidak ada lagi sorotan.

Kemenangan sejati bukan milik pasangan yang duduk di kursi kekuasaan, melainkan milik rakyat yang merasakan manfaat dari setiap kebijakan.

Dan itu hanya mungkin terjadi bila para pendukung tetap menjadi penuntun moral, bukan beban politik.

Kita telah menempuh jalan panjang bersama dengan menggalang kekuatan, menahan fitnah, menjaga semangat hingga tiba di puncak kemenangan.

Kini tugas baru menanti yakni menjaga agar kemenangan itu benar-benar bermakna. Menjadi pendukung sejati artinya menjadi bagian dari cahaya, bukan bayangan di belakang kekuasaan.

Sebab sorak kemenangan akan sirna, tapi kejujuran dan kesetiaan akan selalu dikenang.

Dan seperti kata filsuf Khalil Gibran, “Kesetiaan tidak diukur dari seberapa lama engkau bertahan, tetapi seberapa murni engkau menjaga niat yang sama sejak awal.”[]

banner 350x350
Artikel ini telah dibaca 62 kali

badge-check

Redaksi

Baca Lainnya

Ke Pedalaman Aceh Utara, Kak Na Hibur Yatim dan Jemput Aspirasi

14 Oktober 2025 - 22:02 WIB

Bukti Khazanah Aceh Selatan, Adat Mawah, Bahasa Aneuk Jamee dan Kluet ,Ditetapkan Sebagai Warisan Budaya Tak Benda

14 Oktober 2025 - 18:47 WIB

T.Sukandi : Tatata Kelola Keuangan dan Pembangunan Aceh Selatan Saat Ini Terparah Sepanjang Sejarah

14 Oktober 2025 - 08:30 WIB

Tak Terima Dituduh Hentikan Pembayaran Gaji Petugas Kebersihan, Ini Penjelasan Bupati Aceh Selatan

13 Oktober 2025 - 21:01 WIB

Kunker ke Pulo Aceh, Kak Na Semangati Lansia

13 Oktober 2025 - 20:44 WIB

Komisi II DPRK Aceh Selatan Pertanyakan Progres PT Arah Maju Produktif

13 Oktober 2025 - 20:33 WIB

Trending di Daerah