Menu

Mode Gelap
 

News · 20 Sep 2025 19:32 WIB ·

Keracunan MBG dan Krisis Tata Kelola Publik


 Keracunan MBG dan Krisis Tata Kelola Publik Perbesar

KASUS keracunan makanan bergizi gratis (MBG) yang menimpa ribuan siswa di berbagai daerah kembali menyedot perhatian publik.

Sejak resmi diluncurkan pada 6 Januari 2025, program MBG tampil sebagai kebijakan unggulan Presiden Prabowo Subianto.

Dengan ambisi menyehatkan anak-anak Indonesia dan mempercepat perbaikan kualitas sumber daya manusia, program ini didesain sebagai jawaban atas tantangan gizi yang masih menjadi pekerjaan rumah bangsa ini.

Namun, dalam sembilan bulan pelaksanaannya, realitas di lapangan jauh dari kata mulus.

Rentetan kasus keracunan yang menimpa siswa sekolah pascakonsumsi MBG di berbagai daerah akhir-akhir ini, justru menimbulkan tanda tanya besar, apakah kebijakan yang memiliki niat mulia ini dirancang dan dijalankan dengan memadai?

Data dari Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) menyebutkan, hingga September 2025, sebanyak 5.360 anak dilaporkan mengalami keracunan pascakonsumsi makanan MBG. JPPI pun menduga jumlah keracunan menu MBG lebih besar karena diduga ada sekolah, pemda, atau aparat yang menutupi informasi tersebut.

Sementara itu, Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) mencatat lebih dari 4.000 korban dalam delapan bulan pertama implementasi.

Angka ini bukanlah sekadar statistik, tetapi mencerminkan krisis tata kelola program yang semestinya menyentuh kebutuhan dasar anak, justru menimbulkan risiko kesehatan.

Krisis tata kelola

Secara politis, MBG adalah wujud konkret janji kampanye yang mendapat dukungan luas. Namun, dalam perspektif kebijakan, apa yang terjadi dapat dibaca sebagai kegagalan dalam tahap implementasi.

Pressman dan Wildavsky (1973) dalam Implementation: How Great Expectations in Washington Are Dashed in Oakland, menggarisbawahi bahwa jarak antara perumusan kebijakan yang sarat ambisi politik dengan realitas pelaksanaan di lapangan sering kali dipenuhi hambatan birokrasi, lemahnya koordinasi, dan keterbatasan kapasitas institusi.

MBG kini tampaknya menjadi contoh dari “gap” tersebut. Kasus keracunan yang berulang menunjukkan bahwa MBG lebih ditopang oleh ambisi politik ketimbang perhitungan teknokratik yang matang, kesiapan institusional, dan kapasitas implementasi. Program ini menghadapi paradoks klasik: semakin besar cakupan program, semakin tinggi pula risiko kegagalan implementasi.

Dalam konsep policy design yang dikemukakan Peter Hall (1993), penting adanya kesesuaian antara tujuan, instrumen, dan konteks institusional. Dalam kasus MBG, tujuan mulia meningkatkan gizi anak tidak selalu sejalan dengan instrumen penyediaan makanan massal yang menuntut kapasitas manajemen publik yang luar biasa besar.

Mulai dari rantai pasok yang higienis, penyedia lokal yang memenuhi standar, sistem penyimpanan dengan standar tinggi, hingga pengawasan lintas lembaga, semuanya membutuhkan tata kelola yang kuat.

Fakta bahwa kasus keracunan berulang kali terjadi di berbagai daerah memperlihatkan adanya celah sistemik yang belum tertutup.

Belajar dari negara lain

India dengan Mid-Day Meal Scheme juga pernah menghadapi masalah serupa. Pada 2013, tragedi Bihar merenggut nyawa 23 anak akibat keracunan makanan gratis di sekolah.

Kejadian itu mengguncang opini publik dan menjadi titik balik bagi pemerintah India memperketat regulasi, membangun dapur sekolah yang higienis, serta melakukan audit independen secara rutin.

Pelaksanaan program di negara bagian dikelola oleh District Level Committee yang terdiri dari perwakilan parlemen, dinas pendidikan, dinas sanitasi, serta perwakilan masyarakat sipil, sehingga pengawasan dan koordinasi lintas sektor lebih terjamin.

Saat ini, Indonesia semestinya belajar dari pengalaman tersebut. Kasus-kasus keracunan yang terjadi bukan sekadar insiden yang bisa dianggap kebetulan, melainkan indikasi adanya kelemahan sistemik yang berpotensi mengulang tragedi serupa jika tidak segera diperbaiki.

Di titik ini, pemerintah tidak bisa lagi menutup mata. MBG merupakan program berbiaya besar yang menelan ratusan triliun rupiah dari APBN. Kegagalan mengelola program ini bukan hanya pemborosan anggaran, tetapi juga ancaman langsung terhadap kesehatan dan keselamatan generasi penerus bangsa.

Jalan keluar yang perlu ditempuh bukan sekadar tambal sulam, melainkan koreksi fundamental. Untuk memastikan program MBG berjalan efektif, transparan, dan akuntabel, perbaikan mendasar pada tiga pilar utama sangat diperlukan: tata kelola dan regulasi, perencanaan dan evaluasi, serta pemenuhan gizi dan keamanan pangan.

Tanpa fondasi yang kokoh pada ketiga aspek ini, program MBG berpotensi besar mengalami inefisiensi dan gagal mencapai tujuannya.

Pilar pertama yang harus segera dibenahi adalah penguatan regulasi dan tata kelola. Saat ini, program MBG berjalan tanpa payung hukum kuat, sehingga langkah pertama yang paling mendesak adalah penerbitan Peraturan Presiden (Perpres).

Perpres ini harus secara komprehensif mengatur mekanisme koordinasi lintas sektor, peran pemerintah pusat dan daerah, pengawasan anggaran, serta mitigasi konflik kepentingan dalam skema kemitraan.

Sentralisasi tata kelola pada Badan Gizi Nasional (BGN) dinilai tidak lagi relevan mengingat keterbatasan kapasitasnya. Oleh karena itu, perlu ada pembagian kewenangan yang jelas kepada pemerintah daerah dan penguatan kolaborasi antarlembaga seperti Kementerian Kesehatan, yang perannya harus lebih sentral, terutama dalam mengintegrasikan MBG dengan intervensi gizi lainnya yang sudah ada.

Selain itu, pemerintah harus menyusun dan mempublikasikan petunjuk teknis (juknis) yang detail, mencakup segala aspek operasional mulai dari standar dapur hingga proses distribusi.

Pilar kedua adalah memperkuat kualitas perencanaan serta membentuk sistem pemantauan dan evaluasi (monev) yang berjenjang.

Program sebesar MBG tidak bisa hanya berorientasi pada kuantitas cakupan, melainkan harus berbasis bukti dan terukur dampaknya.

Untuk itu, pemerintah perlu membentuk komite monitoring di berbagai tingkatan, dari pusat hingga sekolah, yang melibatkan peran lintas sektor seperti organisasi masyarakat sipil, pakar, dan perwakilan orangtua, mencontoh praktik baik di India.

Komite ini akan bertugas mengukur dampak program berdasarkan indikator proses dan luaran yang jelas terkait kesehatan dan status gizi.

Pilar ketiga, yang merupakan ujung tombak dari program ini, adalah memastikan pemenuhan gizi dan keamanan pangan di setiap siklusnya. Kualitas makanan yang diterima siswa adalah kunci keberhasilan program.

Perencanaan menu harus mengacu pada pedoman gizi seimbang dari Kementerian Kesehatan dan idealnya disusun melalui skema kokreasi yang melibatkan masyarakat lokal agar sensitif terhadap potensi pangan setempat.

Untuk mencegah insiden keracunan terjadi kembali, setiap dapur sentral (SPPG) wajib menerapkan sistem manajemen keamanan pangan berbasis Hazard Analysis and Critical Control Points (HACCP).

Tanpa reformasi tata kelola yang menyentuh jantung persoalan, MBG berisiko menjadi contoh klasik kebijakan populis yang gagal indah di atas kertas, tetapi rapuh di lapangan.

Kasus keracunan anak sekolah mestinya menjadi alarm keras bahwa kebijakan publik tidak cukup hanya bermodalkan niat baik dan anggaran besar, tetapi harus ditopang oleh tata kelola yang transparan, akuntabel, dan berkelanjutan.

Jika koreksi fundamental tidak segera dilakukan, bukan hanya cita-cita memperbaiki gizi anak bangsa yang gagal tercapai, tetapi juga legitimasi politik pemerintahan bisa terkikis di mata publik.[]

Penulis : Muhammad Dzulfikar Al Ghofiqi (Asisten Dosen)

Sumber : Kompas.Com

banner 350x350
Artikel ini telah dibaca 60 kali

badge-check

Redaksi

Baca Lainnya

Camat Kluet Selatan Gelar Sosialisasi Pilchiksung Serentak Tahun 2025

12 Oktober 2025 - 19:51 WIB

Wakil Gubernur Aceh Buka Pekan Kebudayaan Aceh Barat 2025

12 Oktober 2025 - 14:15 WIB

Santri Yayasan Pendidikan Hafizh Cendekia Kunjungi Laboratorium Lapangan Peternakan USK

12 Oktober 2025 - 11:34 WIB

Kancil, Rubah, dan Panggung Politik Hutan Raya

12 Oktober 2025 - 11:11 WIB

Cabut Rekomendasi IUP PT Laguna Jaya Tambang, Masady Manggeng Mengaku Salut Langkah Tegas Bupati Abdya

12 Oktober 2025 - 11:00 WIB

Gerakan Gampong Magrib Mengaji, Program Kerja 100 Hari Tanpa Aksi

12 Oktober 2025 - 08:45 WIB

Trending di Editorial