Menu

Mode Gelap
 

News · 13 Sep 2025 14:21 WIB ·

Habis Nepal Terbitlah Perancis dan Pelajaran bagi Indonesia


 Demo Nepal yang berawal dari larangan media sosial berakhir ricuh, meningkatkan korban jiwa hingga 30 orang, lebih dari 1.000 luka, hingga PM Nepal Oli mundur.  Perbesar

Demo Nepal yang berawal dari larangan media sosial berakhir ricuh, meningkatkan korban jiwa hingga 30 orang, lebih dari 1.000 luka, hingga PM Nepal Oli mundur.

UNGKAPAN “Habis Nepal Terbitlah Perancis” belakangan muncul di media sosial Indonesia untuk menggambarkan rentetan kerusuhan besar di dua negara berbeda.

Ungkapan ini jelas diadaptasi dari judul buku legendaris R.A. Kartini Habis Gelap Terbitlah Terang, tetapi dipelintir menjadi semacam satire politik.

Sekilas, analogi itu memang terasa pas. Nepal dan Perancis sama-sama diguncang gelombang kemarahan rakyat terhadap penguasa.

Di Nepal, generasi muda turun ke jalan karena merasa kebebasan mereka dibungkam dan masa depan dicurangi oleh praktik korupsi serta nepotisme.

Di Perancis, ribuan orang memenuhi jalanan Paris dan kota-kota lain dalam aksi nasional “Bloquons tout” atau “Block Everything”, menolak kebijakan penghematan yang dianggap membebani rakyat kecil. Namun jika ditelaah lebih dalam, jelas terlihat perbedaan fundamental antara keduanya.

Kerusuhan di Nepal dipicu larangan penggunaan media sosial, yang oleh publik dianggap membungkam kebebasan berekspresi.

Ditambah lagi, maraknya kasus korupsi dan nepotisme membuat generasi muda, terutama Gen Z, kehilangan kepercayaan terhadap pemerintah.

Mereka tidak sekadar menuntut perbaikan ekonomi, tetapi juga menginginkan reformasi politik yang lebih mendasar. Tindakan represif aparat justru memperburuk keadaan, menjadikan jalanan Kathmandu dan kota-kota lain medan bentrokan berkepanjangan.

Sementara di Perancis, gelombang protes 10 September 2025, yang dikenal dengan Bloquons tout berakar dari persoalan ekonomi dan sosial yang sangat spesifik, yaitu rencana anggaran 2026.

Pemerintahan Perdana Menteri François Bayrou, yang akhirnya tumbang akibat tekanan publik dan parlemen, mengusulkan pemangkasan anggaran 44 miliar euro, penghapusan dua hari libur nasional, pembekuan kenaikan pensiun, dan pemangkasan dana kesehatan.

Di tengah biaya hidup yang kian mencekik, kebijakan ini dipandang sebagai bentuk arogansi kekuasaan yang tidak memahami penderitaan rakyat.

Dari sini tampak jelas bahwa perlawanan di Perancis bukanlah tuntutan revolusi total seperti di Nepal. Bloquons tout lebih merupakan gerakan penolakan kebijakan domestik, walau tuntutan “Macron mundur” bergema keras.

Seruan itu bersifat simbolis sekaligus konkret. Simbolik sebagai bentuk penolakan terhadap ketidakpekaan elite politik, konkret sebagai desakan agar presiden bertanggung jawab atas kebijakan yang dinilai menambah beban rakyat.

Maka, mengaitkan peristiwa Nepal dan Perancis dalam satu ungkapan “Habis Nepal Terbitlah Prancis” sebenarnya terlalu menyederhanakan realitas.

Memang ada kesamaan wajah, yaitu adanya tuntutan rakyat akan perubahan, penguasa dianggap gagal mendengar suara bawah. Namun, rohnya berbeda.

Di Nepal, krisis berakar pada keruntuhan legitimasi politik akibat korupsi, represi, dan hilangnya ruang kebebasan.

Di Perancis, krisis muncul dari kebijakan ekonomi yang dianggap tidak adil di tengah tekanan hidup yang makin berat.

Walau ada perbedaan, namun kedua peristiwa ini memberi satu pelajaran penting, yaitu legitimasi politik tidak hanya ditentukan oleh prosedur formal seperti pemilu, tetapi juga oleh rasa keadilan sosial yang dirasakan di tanah rakyat.

Sebab sekali keadilan itu dianggap hilang, rakyat tidak segan mengubah jalan raya menjadi panggung perlawanan.

Nepal adalah cermin frustrasi generasi muda terhadap masa depan yang dikunci rapat oleh oligarki dan nepotisme.

Sementara Perancis adalah peringatan bahwa negara demokrasi mapan pun bisa goyah ketika pemerintah mengabaikan sensitivitas sosial-ekonomi warganya.

Membaca peristiwa yang terjadi di Nepal dan Perancis, terdapat pelajaran penting bagi Indonesia, yaitu negara ini juga tidak kebal dari dinamika semacam ini.

Jangan menganggap bahwa demokrasi elektoral dan stabilitas politik sudah cukup menjadi “jaminan keamanan”.

Pengalaman Nepal dan Perancis menunjukkan bahwa stabilitas hanya bertahan sejauh rakyat merasakan keadilan sosial, ruang kebebasan tetap terbuka, dan kebijakan ekonomi berpihak pada mereka yang paling rentan.

Oleh karena itu, ada beberapa catatan penting yang perlu dilakukan Indonesia.

Pertama, menjaga ruang kebebasan berekspresi. Di era digital, generasi muda memandang kebebasan bersuara sebagai bagian dari hak hidup. Membungkam suara justru menyalakan api perlawanan.

Kedua, melawan korupsi dan nepotisme. Apa yang terjadi di Nepal menjadi alarm keras. Generasi muda bisa kehilangan kepercayaan total bila melihat kekuasaan hanya berputar di lingkaran yang sama. Sekali kepercayaan runtuh, sangat sulit membangunnya kembali.

Ketiga, peka terhadap keadilan sosial-ekonomi. Kasus Perancis memberi pelajaran bahwa rakyat di negara demokrasi mapan pun bisa marah jika merasa terbebani oleh kebijakan ekonomi yang dianggap tidak adil.

Indonesia, dengan tantangan inflasi, harga pangan, dan lapangan kerja, harus ekstra hati-hati. Kebijakan ekonomi yang tidak memperhatikan rasa keadilan hanya akan memperlebar jurang ketidakpuasan.

Keempat, legitimasi politik tidak berhenti di pemilu, tetapi setiap hari diuji oleh kebijakan yang diambil. Pemimpin yang abai bisa kehilangan kepercayaan bahkan sebelum masa jabatannya usai.

Akhirnya, ungkapan “Habis Nepal Terbitlah Perancis” mungkin rapuh sebagai analisis, tetapi cukup kuat sebagai peringatan.

Ungkapan ini mengingatkan bahwa suara rakyat bisa datang tiba-tiba, dengan cara yang mengejutkan, bahkan di negara yang dianggap stabil sekalipun.

Bagi Indonesia, pelajaran ini seharusnya jelas, yaitu jangan pernah bermain-main dengan rasa keadilan sosial dan jangan jadikan keadilan sosial sebagai anak tiri.

Sebab begitu rakyat merasa kehilangan keadilan, tak ada pagar kekuasaan yang cukup kokoh untuk menahan derasnya gelombang perlawanan.[]

Penulis : Aris Heru Utomo (Konsul RI Tawau)

Sumber : Kompas.Com

banner 350x350
Artikel ini telah dibaca 84 kali

badge-check

Redaksi

Baca Lainnya

Siswa SMAS Insan Madani Aceh Selatan Terpilih Pertukaran Pelajar ke Amerika Serikat

13 September 2025 - 17:40 WIB

Satreskrim Polres Aceh Selatan Tangkap Lima Pencuri Hewan Ternak

13 September 2025 - 13:59 WIB

Siapkan Siswa Hadapi TKA, Cabdisdik Bener Meriah Gandeng 12 MGMP

13 September 2025 - 08:53 WIB

Polemik Ijazah Gibran, Jokowi: Kalau Nggak Ada yang Backup, Nggak Mungkin

13 September 2025 - 07:50 WIB

OJK Tak Bertaring, Mafia Bank Asing Bebas Bermain di Indonesia

12 September 2025 - 22:29 WIB

Prabowo Bakal Hadir Langsung Sidang Umum PBB, Ini yang Akan Dibahas

12 September 2025 - 21:36 WIB

Trending di Nasional