Oleh : Abdan Syakura (Penggiat Literasi/
SEJAK awal periode kebangkitan menentang kolonialisme di Indonesia, para aktivis pergerakan seperti Hatta, Syahrir, Tan Malaka, Soekarno, hingga HOS Tjokroaminoto, telah menggagas dan merumuskan pemikiran bagi masyarakat Indonesia.
Pemikiran tersebut adalah Sosialisme Indonesia. Pemikiran ini merupakan antitesis terhadap masyarakat kolonial yang menciptakan kesenjangan sosial, kemiskinan, kebodohan dan keterbelakangan.
Namun, berbeda dengan yang diajarkan Karl Marx dan Friedrich Engels, aktivis pergerakan saat itu tidak memahami sosialisme sebagai bentuk dan susunan masyarakat yang datang dengan dengan sendirinya seiring hancurnya kapitalisme.
Mereka memandang tidak semua teori Marx tersebut sesuai dengan situasi dan kondisi Indonesia. Akhirnya, filsafat materialisme Marx dianggap kurang bisa diterima semua golongan dan lapisan masyarakat.
Hatta menyatakan, untuk merumuskan dan mewujudkan sosialisme Indonesia, maka harus digali dasar-dasarnya dalam setiap kultur masyarakat Indonesia itu sendiri.
Karena itu, semangat kolektivisme dan gotong royong yang yang sejak lama menjadi corak sosialis masyarakat Indonesia menjadi dasar pemikiran ini.
Berdasarkan pemikiran itulah, Hatta menjelaskan dalam salah satu tulisannya bahwa sosialisme dipahami sebagai tuntutan institusional yang bersumber dalam lubuk hati yang murni, berdasarkan perikemanusiaan dan keadilan sosial, dengan Agama sebagai penerangannya.
Berbeda dengan Hatta, Syahrir menekankan aspek kebebasan dan kemanusiaan sebagai landasan utamanya.
Syahrir berpendapat, sosialisme adalah suatu cara memperjuangkan kemerdekaan dan kedewasaan manusia, yaitu bebas dari penindasan dan penghisapan serta penghinaan terhadap manusia oleh manusia lain.
Bagi Syahrir, sosialisme yang tidak berpegang pada azas kerakyatan, yaitu tidak memihak mayoritas rakyat, sama dengan sosialisme yang tidak berjiwa kemanusiaan.
Meski banyak tafsiran mengenai Sosialisme Indonesia, namun hampir semua kaum pergerakan baik yang berasal dari kelompok kiri, nasionalis dan agama sepakat musuh utama bangsa dan rakyat Indonesia adalah kolonialisme, kapitalisme dan imperialisme. Karena itulah mereka sepakat menggabungkan semua pemikiran tersebut.
Selanjutnya, pemikiran dan cita-cita para aktivis pergerakan untuk membangun Sosialisme Indonesia dihidupkan dalam UUD 1945 yang tertuang dalam tiga pasal, pasal 27 ayat 2, pasal 33 dan pasal 34.
Dengan dicantumkannya pasal-pasal tersebut dalam UUD 1945, maka sudah ada pegangan konstitusional yang kuat bagi pemerintah untuk mewujudkan cita-cita Sosialisme Indonesia berbentuk Negara Kesejahteraan yang berlandaskan kesetaraan.
Tidak seperti yang dipahami kaum komunis yang menganggap kesetaraan berarti sama rata sama rasa, kesetaraan dalam Sosialisme Indonesia ini lebih menjurus pada upaya menciptakan kesetaraan dalam akses, peluang dan sumber daya sosial, ekonomi, politik, dan budaya kepada seluruh warganya tanpa membedakan golongan, ras, atau gender.
Dengan demikian, tujuan Negara Kesejahteraan yang dicita-citakan para aktivis pergerakan saat itu adalah membebaskan rakyat Indonesia dari kesengsaraan hidup, menjamin penghidupannya dan menciptakan kemakmuran bagi semua orang tanpa memandang golongan sosial.
Salah satu contoh konkret mewujudkan cita-cita tersebut adalah adanya usaha atas azas kekeluargaan yang diwujudkan melalui kooperasi yang dibangun dari bawah, dan mengajak orang banyak bekerja sama untuk menyusun dasar-dasar kemakmuran rakyat.
Semangat kolektivisme yang dihidupkan kembali oleh kooperasi mengutamakan kerjasama dalam suasana kekeluargaan antar masyarakat, bebas dari paksaan dan penindasan.Hal semacam itu memupuk semangat dan toleransi dan rasa tanggung jawab bersama.
Dengan demikian, kooperasi berdasarkan pemikiran Sosialisme Indonesia mendidik dan memperkuat demokrasi sebagai cita-cita bangsa dan sebagai salah satu dasar pokok bagi Republik Indonesia, yaitu sila keempat Pancasila**