ASPIRATIF.ID — Dapur atau Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG) program Makan Bergizi Gratis (MBG) harus memiliki sejumlah sertifikat yang menjadi syarat mutlak, bukan lagi sekadar administratif.
Usai marak temuan kasus keracunan, Kepala Staf Kepresidenan (KSP) Muhammad Qodari menyoroti soal Sertifikat Laik Higiene dan Sanitasi (SLHS) yang semestinya wajib dimiliki setiap dapur MBG, sebagai bukti pemenuhan standar mutu serta persyaratan keamanan pangan.
Namun, KSP justru menemukan dari 8.583 SPPG atau dapur MBG, hanya 34 SPPG yang memiliki SLHS, sehingga 8.549 lainnya belum mengantongi SLHS sampai 22 September 2025.
“Jadi singkatnya, SPPG itu harus punya SLHS dari Kemenkes (Kementerian Kesehatan) sebagai upaya mitigasi dan pencegahan keracunan pada program MBG,” kata Qodari, Senin (22/9/2025), dikutip dari siaran pers.
Mengetahui temuan itu, Wakil Ketua Komisi IX DPR RI Charles Honoris mengaku prihatin.
Padahal, sertifikat SLHS yang menyatakan bahwa dapur atau tempat pengolahan makanan telah memenuhi standar kebersihan dan sanitasi.
“Dapur yang belum memiliki SLHS tidak boleh beroperasi sampai memenuhi standar yang ditetapkan. Pemerintah daerah bersama Kementerian Kesehatan wajib memfasilitasi percepatan penerbitan SLHS,” kata Charles, saat dikonfirmasi, Kamis (25/9/2025).
Pemerintah secara kolektif sepakat untuk menerapkan ketiga sertifikasi, yakni SLHS, HACCP, dan sertifikasi halal yang semuanya akan dilengkapi dengan pengakuan dari BPOM sebagai standar wajib operasional SPPG.
Sertifikat SLHS
Menteri Koordinator Bidang Pangan Zulkifli Hasan atau Zulhas menegaskan, seluruh dapur (SPPG) wajib memiliki Sertifikat Laik Higiene Sanitasi (SLHS).
Zulhas mengatakan, jika SPPG tidak ada sertifikat ini, kasus Kejadian Luar Biasa (KLB) alias keracunan MBG akan terus terulang kembali.
“Sertifikat Laik Higiene Sanitasi (dulu hanya) syarat, tetapi pasca kejadian (keracunan MBG belakangan) harus atau wajib hukumnya setiap SPPG harus punya SLHS. Akan dicek, kalau enggak ada, ini akan kejadian lagi, kejadian lagi,” ujar Zulhas, dalam konferensi pers usai rapat Koordinasi Penanggulangan Kejadian Luar Biasa (KLB) pada Program Prioritas MBG, Minggu (28/9/2025).
Selain kualitas bahan baku yang harus diperbaiki, SPPG juga wajib melakukan sterilisasi alat makan dan memperbaiki proses sanitasi, khususnya alur limbah.
“Yang paling utama adalah kedisiplinan, kualitas, dan kemampuan juru masak tidak hanya dari tempat yang terjadi (keracunan), tetapi di seluruh SPPG,” tegas Zulhas.
Sertifikat Laik Higiene Sanitasi atau SLHS adalah sertifikat dari Dinas Kesehatan sebagai bukti bahwa suatu usaha, termasuk dapur, restoran, catering, hotel, dan fasilitas umum, memenuhi standar higienis.
Tujuan utamanya adalah memastikan bahwa operasional usaha tersebut tidak menimbulkan risiko kesehatan bagi masyarakat.
Bagi pelaku usaha, SLHS bukan hanya kewajiban hukum, tetapi juga investasi untuk membangun kepercayaan pelanggan dan meningkatkan citra usaha.
Sertifikat HACCP
Sertifikat kedua yang harus dimiliki SPPG adalah sertifikat Hazard Analysis and Critical Control Point (HACCP) atau Analisis Bahaya dan Titik Kendali Kritis.
“Kami juga sudah menyepakati tadi bahwa BGN akan mewajibkan Sertifikasi Laik Higiene dan Sanitasi (SLHS) dari Kemenkes. Kemudian ada satu lagi yang proses HACCP, itu prosesnya berkaitan dengan standar gizi dan manajemen risikonya,” ujar Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin, dalam konferensi pers di kantor Kemenkes, Jakarta Selatan, Kamis (2/10/2025).
HACCP adalah sistem manajemen keamanan pangan untuk mengidentifikasi, mengevaluasi, dan mengendalikan risiko kesehatan yang terkait dengan produksi dan penyediaan makanan.
Sistem HACCP ini digunakan secara luas di industri makanan hingga restoran. Budi menegaskan, Kemenkes, BPOM, dan BGN akan bekerja sama untuk melakukan sertifikasi sebagai proses standardisasi awal.
“Kami juga sudah membahas bagaimana ada akselerasi dari sisi masing-masing penerbit sertifikasi agar prosesnya bisa cepat,” kata Budi.
Budi melanjutkan, pengawasan secara internal akan dilakukan oleh Badan Gizi Nasional (BGN) setiap harinya untuk memastikan apakah SPPG sudah layak untuk dijalankan.
“Kami akan membangun checklist apa saja yang mesti diawasi. Contohnya itu kan ada bahan baku yang dipakai. Apakah bahannya memang kualitasnya bagus atau tidak, itu dibicarakan,” ujar dia.
Sertifikat Halal
Untuk melengkapi standardisasi pelayanan, sertifikasi halal juga diperlukan.
Proses sertifikasi ini akan ditambah dengan rekognisi atau pengakuan dari Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM). Pengurusan sertifikasi halal di Indonesia dilakukan oleh Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH).
“Kemudian juga nanti ada sertifikasi dari halal. Nah, ketiga proses sertifikasi ini akan ditambah satu lagi rekognisi dari BPOM,” kata Budi.Dia pun meminta agar lembaga-lembaga yang memproses sertifikasi tersebut bekerja dengan cepat.
“Agar prosesnya itu bisa cepat, kualitasnya baik, dan tidak ada biaya yang izin yang mahal-mahal,” ucap Budi.
Budi menyebut, Kepala Badan Pangan Nasional/National Food Agency (NFA), Arief Prasetyo Adi, juga turun mengecek kualitas produk atau bahan baku MBG.
“Kualitas air itu sangat penting untuk menentukan apakah nanti makanan yang disajikan itu baik atau tidak. Itu juga nanti akan dilakukan proses pengawasannya on daily basis oleh BGN,” kata dia.[]
Sumber : Kompas.Com
