ASPIRATIF.ID — Koordinator Gerakan Muda Peduli Aceh (GeMPA), Ariyanda Ramadhan mendesak Bupati Aceh Selatan, H. Mirwan MS, untuk segera melakukan evaluasi menyeluruh terhadap delapan Izin Usaha Pertambangan (IUP) Eksplorasi yang di wilayah Kabupaten Aceh Selatan.
Desakan ini disampaikan menyusul terbitnya Instruksi Gubernur Aceh Nomor 08/INSTR/2025 tentang Penataan dan Penertiban Perizinan/Non Perizinan Berusaha Sektor Sumber Daya Alam, yang menegaskan pentingnya tindakan konkret pemerintah kabupaten dalam memastikan kepatuhan hukum dan tata kelola sumber daya alam (SDA) yang berkelanjutan.
Pemuda asal Aceh Selatan itu menilai bahwa hingga saat ini, rata-rata izin eksplorasi pertambangan di Aceh Selatan tidak menunjukkan progres nyata, bahkan sebagian besar diduga melanggar kewajiban administratif dan teknis sebagaimana diatur dalam Qanun Aceh Nomor 15 Tahun 2017 tentang Pengelolaan Pertambangan Mineral dan Batubara.
“Ada izin yang hanya hidup di atas kertas, tanpa aktivitas eksplorasi, tanpa laporan tahunan, dan tanpa jaminan reklamasi. Ini pelanggaran nyata terhadap prinsip akuntabilitas publik dan kewajiban hukum pemegang izin,” tegas Ariyanda, Rabu 8 Oktober 2025.
Dia menemukan sejumlah indikasi pelanggaran yang dilakukan oleh pemegang IUP eksplorasi, antara lain yaitu tidak menyampaikan laporan kegiatan eksplorasi tahunan selama lebih dari dua tahun, tidak melaksanakan kewajiban lingkungan hidup, termasuk penyusunan dokumen AMDAL atau UKL-UPL sebagaimana diatur dalam Pasal 34 Qanun 15 tahun 2017.
Kemudian, lanjut Ariyanda, tidak memiliki jaminan reklamasi dan pascatambang, yang wajib diserahkan sebelum pelaksanaan kegiatan eksplorasi sesuai Pasal 25 qanun tersebut.
Bahkan ada juga yang menelantarkan wilayah izin eksplorasi yang tumpang tindih dengan kawasan hutan lindung, hutan produksi terbatas, dan area tangkapan air.
Menurut Ariyanda, kondisi ini bukan sekadar masalah teknis, melainkan bentuk kelalaian hukum dan kebijakan yang harus segera dikoreksi. “Instruksi Gubernur Aceh Nomor 08/INSTR/2025 sudah sangat jelas bahwa setiap kepala daerah kabupaten/kota wajib menertibkan seluruh izin sektor SDA yang tidak memenuhi ketentuan hukum, baik di bidang pertambangan, kehutanan, maupun perkebunan.
“Jika Bupati Aceh Selatan tidak segera bertindak, maka hal itu sama saja dengan mengabaikan perintah regulatif dari pemerintah provinsi,” ujarnya.
Instruksi Gubernur Aceh tersebut merupakan tindak lanjut dari kebijakan nasional terkait perbaikan tata kelola SDA pasca penerapan Online Single Submission Risk Based Approach (OSS-RBA) dan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara.
Pemerintah kabupaten kini memiliki tanggung jawab penuh dalam melakukan verifikasi, validasi, dan evaluasi izin usaha pertambangan yang masih aktif, untuk memastikan bahwa izin tersebut memenuhi unsur legalitas, keberlanjutan, dan manfaat ekonomi daerah.
Berdasarkan data Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Aceh hingga Juli 2025, terdapat 8 IUP eksplorasi aktif di Aceh Selatan dengan total luas mencapai 12.340 hektare.
Dari jumlah tersebut, empat perusahaan tidak melaporkan kegiatan eksplorasi dua tahun berturut-turut, dua perusahaan tidak menyerahkan jaminan reklamasi lingkungan, dan satu di antaranya diketahui beroperasi di kawasan hutan lindung.
Fakta ini memperkuat argumentasi bahwa evaluasi bukan hanya pilihan administratif, melainkan kewajiban hukum yang bersifat imperatif.
Dalam perspektif hukum daerah, Qanun Aceh Nomor 15 Tahun 2017 memberikan dasar yang kuat bagi Bupati untuk bertindak. Pasal 17 ayat (1) qanun tersebut menyatakan bahwa pemerintah kabupaten berwenang meninjau kembali, menangguhkan, atau mencabut IUP apabila pemegang izin tidak melaksanakan kewajiban administratif, teknis, lingkungan, atau sosial sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan. Sementara Pasal 35 mewajibkan keterbukaan informasi publik terhadap seluruh data dan status izin pertambangan.
“Artinya, Bupati memiliki kewajiban moral dan hukum untuk memastikan izin-izin itu tidak menjadi alat spekulasi bisnis yang merugikan masyarakat. Evaluasi ini adalah bentuk tanggung jawab terhadap konstitusi daerah,” jelas Ariyanda
Dia juga menyoroti potensi kerugian yang ditimbulkan oleh izin-izin tidur tersebut. Selain menghambat investasi baru yang lebih produktif, keberadaan IUP tidak aktif menimbulkan potensi tumpang tindih lahan, konflik sosial di tingkat tapak, serta degradasi ekosistem hutan dan sumber air.
Di sisi lain, kontribusi sektor pertambangan terhadap Pendapatan Asli Daerah (PAD) Aceh Selatan tercatat masih di bawah 0,5%, angka yang mencerminkan minimnya manfaat ekonomi dari izin yang ada.
Ariyanda menegaskan bahwa langkah evaluasi IUP eksplorasi bukanlah bentuk penolakan terhadap investasi, melainkan upaya rasional untuk menata ulang tata kelola sumber daya alam agar berorientasi pada kepentingan publik, bukan kepentingan segelintir pihak.
“Kita ingin tambang yang legal, transparan, dan memberikan manfaat nyata bagi rakyat. Bukan izin fiktif yang hanya menjadi instrumen monopoli sumber daya,” ujarnya.
Ariyanda juga meminta Bupati Aceh Selatan segera membentuk Tim evaluasi independen yang melibatkan unsur pemerintah daerah, Inspektorat, akademisi, dan organisasi masyarakat sipil untuk menelusuri legalitas, aktivitas, serta dampak sosial-lingkungan dari setiap IUP eksplorasi.
Tim ini juga diharapkan melaporkan hasil evaluasi secara terbuka kepada publik untuk memastikan prinsip transparansi dan partisipasi masyarakat dalam pengawasan sumber daya alam.
“Bupati Aceh Selatan tidak hanya dituntut berani, tapi juga cermat menegakkan aturan. Instruksi Gubernur dan Qanun Aceh sudah memberikan pedoman jelas. Sekarang tinggal kemauan politik pemerintah daerah untuk menegakkan tata kelola SDA yang bersih, adil, dan berkelanjutan,” pungkas Pemuda kelahiran Labuhan Haji Raya itu.[]
