Menu

Mode Gelap
 

News · 7 Agu 2025 02:00 WIB ·

Bendera dan Kekuasaan yang Takut


 Seorang sopir truk di Kranji, Bekasi Barat, Kota Bekasi, Dadang (28), memasang bendera bajak laut dari manga One Piece di bagian belakang boks kendaraannya.(ACHMAD NASRUDIN YAHYA/KOMPAS.com)  Perbesar

Seorang sopir truk di Kranji, Bekasi Barat, Kota Bekasi, Dadang (28), memasang bendera bajak laut dari manga One Piece di bagian belakang boks kendaraannya.(ACHMAD NASRUDIN YAHYA/KOMPAS.com)

IA hanya selembar kain. Dua warna. Merah dan putih. Ia tak bisa bicara. Tak bisa memerintah. Tapi jutaan orang tunduk padanya. Mati karenanya. Berdiri kaku di bawah tiangnya setiap Senin pagi. Dan kadang, membentaknya ketika mulai pudar.

Di satu sisi lain, bendera juga hadir dalam bentuk lain: tengkorak tersenyum di atas latar hitam. Fiksi. Diciptakan di atas kertas. Namun, ia hidup dalam layar, poster, kaus, dan mimpi.

Satu bendera diperintah undang-undang untuk dihormati. Satu lagi disukai karena kisah yang ia bawa. Keduanya berkibar, Tapi tidak selalu diterima.

Ketakutan

Negara, seperti kekuasaan mana pun, takut pada yang tak bisa dikendalikan. Bendera Merah Putih diatur dengan hukum. Siapa boleh mengibarkan, di mana, kapan, dan bagaimana cara melipatnya. Ia adalah bendera yang telah disakralkan. Bahkan oleh aturan.

Namun, ketika bendera fiksi—Jolly Roger dari One Piece—dikibarkan di tiang bambu, berdampingan, atau bahkan di bawah Merah Putih, negara menjadi gelisah.

Sebuah ancaman dibaca dari kain. Bendera menjadi alat tafsir politik. Bukan sebagai bentuk ekspresi, tapi indikasi pembangkangan. Bendera fiksi, katanya, bisa mencederai kehormatan nasional.

Padahal, kehormatan tak tinggal di kain. Ia tinggal di makna. Dalam cerita-cerita yang kita wariskan. Dalam keyakinan bahwa dua warna itu bukan hanya komposisi visual, tapi simbol keberanian dan kesucian.

Makna bisa pudar. Tergerus waktu. Ketika simbol tak lagi dihidupi oleh cerita, ia jadi slogan. Maka tak mengherankan jika sebagian anak muda merasa lebih dekat dengan bendera bajak laut fiksi yang membawa petualangan dan perlawanan, ketimbang bendera resmi yang hanya datang bersama upacara, pidato, dan peringatan.

Luffy melawan kekuasaan yang korup. Bersama krunya, ia menantang struktur yang tak adil. Dunia fiksi itu, walau kartun, menyampaikan hal-hal yang nyata: penindasan, solidaritas, keberanian. Ia menjadi pelabuhan imajinasi bagi mereka yang merasa tak terwakili di dunia nyata.

Dan bendera mereka, Jolly Roger, bukan sekadar lambang. Ia adalah janji: bahwa siapa pun bisa bermimpi besar, bahkan dari kapal kecil.

Kekuasaan takut pada lambang seperti itu. Bukan karena bentuknya, tapi karena ia hidup. Ia dipercaya.

Pasal demi pasal dikutip. UU Nomor 24 Tahun 2009 menjadi tameng negara. Bahwa tak boleh ada bendera lain yang berkibar bersama Merah Putih.

Bahwa simbol negara tak bisa didampingi. Namun hukum, seperti simbol, juga punya ruh. Tanpa ruh, ia jadi alat represi.

Mengibarkan bendera bajak laut bukan makar. Ia bukan pengkhianatan, tapi pencarian. Pencarian akan makna kebangsaan yang terasa semakin abstrak. Semakin jauh dari rakyat.

Namun negara tak melihatnya begitu. Negara melihat kain. Negara tak mendengar narasi. Negara hanya mencatat pelanggaran.

Kepanikan

Dan seperti semua kepanikan, ia membesar. Polisi dikerahkan. Gubernur bersuara. Menteri mengingatkan. Wartawan mengamplifikasi. Semua atas nama menjaga martabat bendera.

Padahal yang terancam bukan Merah Putih. Yang sebenarnya terancam adalah kepercayaan pada simbol itu sendiri.

Bendera tak butuh perlindungan hukum jika ia masih hidup dalam jiwa rakyat. Tapi jika ia hanya berdiri karena takut, bukan karena cinta—maka ia sudah setengah mati.

Kita sering lupa, bahwa cinta pada Tanah Air tak tumbuh dari perintah. Ia tumbuh dari penghayatan.

Dari cerita-cerita kecil yang ditanam sejak dini. Dari sekolah yang tak hanya menyuruh hormat bendera, tapi juga membuat murid mencintainya. Dari guru yang bukan sekadar membacakan teks proklamasi, tapi menjelaskan kenapa ia dibacakan.

Jika negara takut pada simbol lain, mungkin yang perlu diperiksa bukan simbol itu, tapi mengapa ia lebih dipercaya.

Goenawan Mohamad pernah menulis, dalam konteks berbeda, bahwa kekuasaan sering takut pada bayangan yang ia ciptakan sendiri. Dan barangkali itu juga yang terjadi di sini. Bendera fiksi menjadi bayangan dari krisis yang tak kita akui: krisis imajinasi nasional.

Karena ketika negara gagal menyuplai narasi, rakyat akan menciptakannya sendiri—di mana saja, dari siapa saja, bahkan dari anime.

Bendera adalah jantung dari banyak revolusi. Namun, revolusi tak pernah lahir dari kain. Ia lahir dari keyakinan. Ketika keyakinan itu tergantikan oleh ketakutan, maka yang tinggal hanya formalitas.

Jangan salahkan anak muda yang mencintai bendera bajak laut. Salahkan kita yang gagal membuat mereka jatuh cinta pada bendera sendiri. Dan kepada kekuasaan: jangan takut pada fiksi. Takutlah ketika kenyataan kehilangan daya pikatnya.**

Firdaus Arifin (Dosen Fakultas Hukum Universitas Pasundan & Sekretaris APHTN HAN Jawa Barat)

Sumber : Kompas.Com

Artikel ini telah dibaca 66 kali

badge-check

Redaksi

Baca Lainnya

Wabup Zaman Akli Sayangkan Oknum Yang Pelintir Kegiatan Baksos di Abdya

9 Agustus 2025 - 04:54 WIB

Pungli atau Kontribusi?

9 Agustus 2025 - 01:57 WIB

Tiga Putra Terbaik Tanah Rencong Pegang Pucuk Pimpinan Dalam Waktu yang Sama, Melda Afriza : Sebuah Catatan Sejarah untuk Aceh

8 Agustus 2025 - 12:36 WIB

Aceh Siap Operasionalkan KDMP Akhir Oktober

8 Agustus 2025 - 11:15 WIB

Dewan Desak Pemkab Abdya Serius Mengurus Nasib Non ASN

8 Agustus 2025 - 09:19 WIB

Ajaran Sesat di Aceh: Salat 5 Waktu Tak Wajib, 6 Orang Ditangkap

8 Agustus 2025 - 04:43 WIB

Trending di Daerah