ASPIRATIF.ID — Pernyataan mantan anggota DPR RI, Rafly Kande, dalam opininya berjudul “Tambang Rakyat, Tatakelola, dan Masa Depan Celengan Aceh” yang beredar di media sosial belakangan ini telah menimbulkan diskursus baru.
Sebagai mantan anggota DPR RI, pandangan Rafly tentu seharusnya lebih memiliki bobot politik. Namun demikian, ketika opini publik dibangun di atas generalisasi sempit, logika yang keliru, serta asumsi yang terlalu pesimistis, maka berpotensi menyesatkan arah kebijakan publik.
Menurut Pembina DPC APRI Aceh Selatan, Hanzirwansyah menilai opini tersebut tidak hanya keliru secara logika, tetapi juga terlalu sempit dalam melihat realitas pertambangan rakyat sehingga terkesan sekadar menyebarkan pesimisme atau negative thinking.
“Opini itu seolah menutup peluang bagi rakyat untuk mengelola sumber daya mereka sendiri. Padahal, tambang rakyat justru bisa menjadi ruang kedaulatan ekonomi lokal bila ditata dengan legalitas, kelembagaan, dan kontrol publik yang tepat,” tegas pria yang akrab disapa Bang Iwan, Minggu, 28 September 2025.
Bang Iwan menilai generalisasi Rafly Kande bahwa “legalitas tanpa kapasitas hanyalah ilusi” adalah argumentasi menyesatkan. Legalitas, kata dia, adalah prasyarat mutlak agar aktivitas pertambangan rakyat berjalan aman, tertata, dan diakui negara.
Tanpa status hukum, penambang rakyat rentan dikriminalisasi, terjebak konflik lahan, atau dimanfaatkan pihak luar.
“Menyebut legalitas sebagai ilusi sama dengan menolak pijakan awal perlindungan hukum bagi rakyat. Itu pandangan yang dangkal,” ujarnya.
Bang Iwan juga menolak klaim Rafly bahwa tambang rakyat hanya akan menjadi kedok bagi cukong dan kepentingan politik.
Menurutnya, generalisasi itu ibarat menyatakan setiap koperasi pasti dikuasai mafia, padahal justru tugas pemerintah dan masyarakat adalah membangun sistem kontrol agar oknum tidak bisa leluasa bermain.
“Kalau hanya karena takut disusupi lalu ditolak, itu sama saja mengubur ruang ekonomi rakyat sejak dini,” katanya.
Lebih jauh, Bang Iwan menyoroti cara Rafly menggunakan data PNBP sektor tambang Aceh sebesar Rp1,58 triliun pada periode 2020-2024. Angka itu, menurutnya, hanya separuh cerita.
“Dia tidak menjelaskan distribusi riil ke masyarakat lokal, berapa yang kembali dalam bentuk pembangunan, atau bagaimana dampaknya di desa penghasil. Tanpa data turunan, pernyataannya bahwa masyarakat belum sejahtera hanyalah kritik normatif tanpa basis empiris,” jelasnya.
Pernyataan Rafly bahwa tambang rakyat hanya akan meninggalkan “celengan kosong” juga dinilai terjebak dalam jebakan teori resource curse atau kutukan sumber daya.
Menurut Bang Iwan, pesimisme struktural itu mengabaikan banyak contoh keberhasilan. Negara seperti Norwegia, Botswana, bahkan beberapa daerah di Indonesia mampu mengubah sumber daya alam menjadi modal pembangunan berkelanjutan.
“Celengan itu bisa produktif bila dikelola sebagai modal manusia. Kalau dari awal dianggap pasti rusak, kita sedang menutup ruang inovasi kebijakan dan pengelolaan adaptif,” ucapnya.
Ia menilai pandangan Rafly juga terlalu menutup diri terhadap inovasi kelembagaan lokal. Aceh, kata dia, punya peluang menyusun qanun atau peraturan daerah yang memperkuat kontrol masyarakat atas izin tambang, transparansi keuangan, hingga audit partisipatif.
“Alih-alih menolak, lebih konstruktif jika kita membangun peta jalan kelembagaan yang ketat. Ada sanksi, ada pengawasan, ada edukasi teknis bagi penambang. Itu solusi nyata, bukan menebar pesimisme,” ujarnya.
Secara filosofis, menurut Bang Iwan, negara tidak boleh hanya menjadi pendikte yang meminggirkan rakyat dalam ruang ekonomi.
Hak rakyat atas sumber daya adalah bagian dari kontrak sosial. Menolak partisipasi rakyat dengan alasan “manajemen kompleks” berarti menolak prinsip desentralisasi dan otonomi daerah.
“Negara seharusnya hadir membangun kerangka regulasi yang adil agar warga penghasil punya kontrol. Jika negara hanya memberi ruang pada korporasi besar, maka rakyat lagi yang terpinggirkan,” katanya.
Ia menegaskan bahwa APRI Aceh Selatan tidak membela optimisme buta. Sebaliknya, mereka ingin memperluas cakrawala bahwa solusi tidak sekadar menolak atau memberi label “ilusi” terhadap legalisasi tambang rakyat.
“Kritik Rafly mungkin saja dimaksudkan baik, tetapi jika dilihat justru terlalu sempit karena mengabaikan aspek legalitas, kontrol lokal, inovasi kebijakan, dan kapasitas rakyat sebagai aktor utama. Kita butuh konstruksi solusi, bukan sekadar pesimisme buta,” tutupnya.[Red]
