Menu

Mode Gelap
 

News · 5 Agu 2025 03:08 WIB ·

Republik Srimulat


 Republik Srimulat Perbesar

LANGIT boleh kelabu, jalan boleh berlubang, tetapi tawa masih memantul dari dinding—seolah menolak retak.

Di sudut-sudut kota, radio tua kadang memutar lakon Srimulat: ledakan guyon, jeda, tepuk tangan palsu yang terasa sungguh.

Ironisnya, riuh gelak itu kini seperti gema republik—yang di panggungnya pemerintah bergincu, oposisi berkumis palsu, dan khalayak menanti lucu.

Kita menatapnya, kadang malu, kadang maklum, sebab lelucon kerap lebih jujur daripada pidato kenegaraan.

Negara selalu membutuhkan teater. Ia membangun set: gedung parlemen bergaya futuristik dengan cat yang terkelupas; baliho berisi janji yang diulang sampai pudar; konferensi pers yang mengkilap, namun kata-katanya serupa suara gamelan patah.

Di panggung ini para aktor—menteri, juru bicara, influencer bersertifikat—menambahkan “selo” dan “cis” sebagai efek tertawa.

Seperti di Srimulat, kejanggalan sengaja dipelihara: logika dibalik, kesalahan dilupakan, dan penonton digiring percaya bahwa kekonyolan adalah takdir yang mempersatukan.

Parodi

Tahun-tahun belakangan, parodi tak lagi sekadar cermin; ia menjadi alat kekuasaan. Satire diproduksi resmi—varietas “lucu tapi patuh”—agar kritik kehilangan gigi.

Ketika parlemen tergopoh mengejar tenggat undang-undang, publik disodori drama komedi: akrobat kursi rapat yang kosong, adu pantun di rapat pansus, selebgram diundang untuk “sosialisasi”.

Srimulat pernah membuat kita tertawa karena jarak antara panggung dan realitas; kini republik membuat kita khawatir karena jarak itu menghilang.

Di belakang lakon selalu ada sutradara. Ia tak tertawa; ia menghitung durasi, mengatur lampu, memutus siapa boleh bicara.

Kuasa di republik ini cenderung memilih mode lawak: menutup blunder dengan musik organ tunggal, mengganti skandal dengan gimik kuliner, atau mencuri fokus menggunakan topik “guyon” tentang penasihat spiritual presiden.

Kini, kekuasaan itu juga menghibur dengan hukum. Di tengah vonis yang baru saja dijatuhkan kepada seorang terdakwa korupsi, Istana menggelar pertunjukan lain: pemberian amnesti dan abolisi.

Bukan untuk para penyair pengkritik, bukan bagi aktivis pembela lingkungan, tetapi kepada mereka yang jejak pidananya terekam dalam gegap gempita persidangan.

Satu tanda tangan mengalahkan ribuan lembar berkas dakwaan. Seperti guyon Srimulat: salah bukan soal bukti, tapi siapa yang pegang mikrofon.

Rakyat

Namun, panggung hidup karena penonton. Kita, para pembayar tiket yang dipungut lewat pajak, kerap tergoda ikut tertawa.

Ada rasa lega ketika komedi menanggalkan kemarahan. Tapi di antara derai tawa itu, ada sepasang mata anak muda yang baru di-PHK—dari 9,9 juta pengangguran terbuka menurut data BPS (Mei 2025); ada petani yang benihnya tergadai—di tengah utang sektor pertanian yang menembus Rp 82 triliun; ada perawat kontrak yang gagal jadi ASN—dari 160.000 tenaga kesehatan non-ASN yang masih menunggu kepastian.

Mereka ikut menepuk tangan, meski dalam hati penuh denting cemas.

Republik Srimulat membuat rakyat terhibur sesaat, lalu pulang membawa keresahan yang dilipat rapi di saku.

Srimulat lahir di era yang serba sumbing—masa ketika tertawa menjadi bentuk perlawanan halus. Dalam desingan kontrol politik, mereka menyelipkan sindiran pada hegemoni feodal dan represi militer.

Kini, kita mewarisi memori itu, tapi lupa menggigit. Lelucon dibiarkan tanpa dendam: ia menguap sebagai hiburan streaming, bukan pengingat luka.

Padahal humor sejatinya tajam, seperti pisau dapur yang sanggup mengupas kesewenang-wenangan. Tanpa ingatan, tawa meluruh jadi tepuk tangan otomatis, kehilangan subversi.

Kebijakan hari ini kerap dibungkus kosa kata lucu: “pemutihan lahan”, “penataan ulang tarif”, “relaksasi pajak dosa”, “digitalisasi santai”. Bahasa meninabobokkan akal.

Seperti pernah disindir Goenawan Mohamad, kata-kata dapat membentuk pagar tak kasatmata yang membatasi cara kita melihat kenyataan.

Republik Srimulat mengganti debat serius dengan lelucon berbumbu slogan. Percakapan publik menari di atas jargon, sementara detail pasal diselipkan sunyi di lembar penjelasan.

Ketika kata kehilangan beban, hukum pun kehilangan gravitasinya. Ada ironi besar: semakin banyak panggung humor, semakin tipis ruang tertawa bebas. Komika dipanggil polisi—seperti Mamat Alkatiri yang dilaporkan karena materi lawaknya soal “polisi dan candaan narkoba” (Mei 2023); karikaturis ditangkap—seperti kasus “Putik” di Pamekasan (Januari 2024) yang sketsanya dianggap menghina tokoh publik; warga dituntut UU ITE karena unggahan meme.

Negara memproduksi candaan, tapi takut pada tawa yang tak ia kendalikan. Di sini, gelak tawa resmi adalah tanda kesetiaan; tawa liar dianggap makar. Maka republik ini bagai badut yang melarang lelucon.

Kita dipaksa tertawa pada waktu yang tepat, dengan volume yang diukur, demi menjaga kesepakatan sandiwara. Meski begitu, harap berderak seperti kayu panggung tua.

Di sela skenario, muncul generasi yang menyusun satire baru: kanal YouTube investigatif, puisi di media sosial, film indie yang menggulung fakta dalam absurditas.

Mereka mengembalikan fungsi humor sebagai lampu sorot, bukan sekadar kembang api. Dalam naskah baru itu, rakyat bukan hanya penonton; mereka penulis, sutradara, sekaligus auditor kebenaran.

Jika panggung resmi terus mengulang kelakar usang, publik akan menciptakan teater alternatif—tanpa gincu palsu dan tawa kalengan. Republik Srimulat mungkin tak bisa menghapus derita, tetapi ia mengingatkan: ketawa adalah hak politik, dan guyon bisa lebih dalam dari pidato. Ketika lakon kekuasaan semakin menyerupai dagelan, cara paling waras adalah menertawakan sekaligus menelanjangi.

Namun hari-hari ini, panggung itu menawarkan pertunjukan baru yang getir: seseorang divonis, dan tak lama kemudian dihapuskan oleh surat sakti dari Istana. Abolisi tak pernah dibahas publik, amnesti tak sempat ditimbang publik.

Dalihnya hukum, tapi lakonnya guyon. Seolah negara ini bersandiwara sampai akhir babak. Lelucon yang baik tak berhenti pada punchline; ia mendorong kita bangkit, menata ulang panggung, menulis dialog yang lebih jujur.

Suatu hari, barangkali, kita menyaksikan pertunjukan baru—di mana tawa bukan kamuflase, melainkan tanda bahwa pemerintah dan rakyat sama-sama manusia. Dan ketika tirai tertutup, kita pulang tanpa rasa diperdaya.**

Penulis : Firdaus Arifin (Dosen Fakultas Hukum Universitas Pasundan & Sekretaris APHTN HAN Jawa Barat)

Sumber : Kompas.Com

Artikel ini telah dibaca 24 kali

badge-check

Redaksi

Baca Lainnya

10 Orang Terkaya di Indonesia Agustus 2025

6 Agustus 2025 - 14:32 WIB

Zulhas Pastikan Dana Desa Tak Jadi Jaminan Utang Koperasi Merah Putih

6 Agustus 2025 - 13:50 WIB

Pimpin Upacara HUT Bank Aceh ke-52, Plt Sekda Harapkan Jadi Bank Daerah Nomor Satu di Indonesia

6 Agustus 2025 - 07:24 WIB

Dosen Muda Sosiologi USK Dibekali Pelatihan Menulis Buku Ajar

6 Agustus 2025 - 06:52 WIB

Diundang Terkait Qanun PT Arah Maju Produktif ke Setda Aceh,Ini Kata Anggota Banleg DPRK Aceh Selatan

6 Agustus 2025 - 06:17 WIB

Satreskrim Polres Aceh Selatan Laksanakan Operasi Pasar dan Monitoring Beras SPHP di Tapaktuan

6 Agustus 2025 - 04:28 WIB

Trending di Daerah