ASPIRATIF.ID — Gerakan Pemuda Negeri Pala (GerPALA) menyatakan keprihatinan sekaligus mengecam pernyataan Kepala Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Aceh di media yang menyebut Bupati Aceh Selatan tidak memiliki otoritas untuk mengevaluasi aktivitas tambang PT Pinang Sejati Utama (PT PSU) dan KSU Tiega Manggis.
Pernyataan tersebut dinilai menyesatkan dan tidak berpihak kepada masyarakat, justru menunjukkan sikap yang lebih membela kepentingan korporasi dibandingkan kepentingan rakyat dan lingkungan.
Koordinator GerPALA, Fadhli Irman, menyampaikan bahwa tindakan Bupati Aceh Selatan yang menghentikan sementara aktivitas PT PSU dan KSU Tiega Manggis melalui Surat Nomor 540/790 tertanggal 21 Juli 2025, merupakan langkah sah berdasarkan kewenangannya yang diatur dalam Qanun Aceh Nomor 15 Tahun 2017 tentang Pengelolaan Pertambangan Mineral dan Batubara.
Menurut Fadhli Irman, Kepala Dinas ESDM Aceh telah keliru secara hukum karena mengabaikan ketentuan dalam qanun tersebut yang secara eksplisit memberi ruang kepada pemerintah kabupaten untuk melakukan evaluasi, pengawasan dan pengendalian terhadap kegiatan pertambangan yang menimbulkan keresahan atau diduga melanggar ketentuan di daerah yang dipimpinnya.
“Dalam qanun itu disebutkan bahwa pemerintah kabupaten/kota berwenang melakukan pengawasan, menindaklanjuti laporan masyarakat, serta dapat mengusulkan penghentian bahkan merekomendasikan pencabutan izin kepada instansi penerbit apabila ditemukan pelanggaran serius oleh pemegang izin,” jelas Fadhli Irman di Tapaktuan, Senin 4 Agustus 2025.
“Oleh karena itu, langkah Bupati Aceh Selatan bukan hanya legal secara hukum sebagai bentuk pengendalian yang dilakukan oleh seorang kepala daerah terhadap aktivitas pertambangan di daerahnya. Hal itu juga merupakan bentuk tanggung jawab moral dan administratif terhadap keselamatan masyarakat serta keberlanjutan lingkungan,” sambungnya.
Fadhli menilai, pernyataan Kepala Dinas ESDM Aceh yang menyatakan bahwa kewenangan ada sepenuhnya di Pemerintah Aceh atau pusat telah mempersempit otonomi daerah dan mengabaikan kekhususan Aceh.
“Jika kita lihat lebih jauh, Pemerintah Pusat melalui Kepala BKPM pernah mencabut IUP Operasi Produksi KSU Tiega Manggis, namun saat itu Pemerintah Aceh mengajukan keberatan dengan dalih kekhususan Aceh. Namun, ketika perusahaan/korporasi melanggar aturan dan terjadi konflik berkepanjangan kekhususan Aceh itu justru tak pernah digunakan untuk membela kepentingan rakyat dan lingkungan, sungguh memilukan,” ujar Irman.
Ia juga mempertanyakan mengapa Pemerintah Aceh,khusus Kepala Dinas ESDM Aceh justru bersikap diam dan pasif terhadap sejumlah pelanggaran serius yang diduga dilakukan oleh PT PSU, tetapi langsung bereaksi keras ketika Bupati mengambil sikap yang pro rakyat.
Menurut Irman, setidaknya terdapat empat persoalan mendasar yang selama ini dibiarkan oleh Pemerintah Aceh tanpa tindakan apa pun.
Pertama, secara jelas terungkap di publik bahwa PT PSU tidak mengantongi dokumen Amdal asli, melainkan hanya fotokopi atau salinan yang tidak sah, padahal dokumen Amdal merupakan syarat mutlak untuk bisa beroperasi secara legal.
“Sehingga patut dipertanyakan apa dasar pemerintah memberikan izin kepada perusahaan yang hanya mengantongi dokumen amdal asli. Ada permainan apa dibalik semua ini,” sebut Irman.
Kedua, lanjut Irman, perusahaan tersebut juga tidak merealisasikan tanggung jawab sosial (CSR) secara nyata dan transparan kepada pemerintah daerah dan masyarakat. Sehingga menimbulkan kekecewaan di tengah masyarakat yang terdampak langsung oleh aktivitas tambang.
Ketiga, aktivitas PT PSU juga diduga mengganggu jalur transportasi umum dan menggunakan jalan umum untuk keperluan operasional yang berpotensi membahayakan keselamatan warga dan melanggar ketentuan tentang penggunaan ruang publik, sementara bentuk kontribusi PT PSU terhadap pembangunan daerah juga tak jelas adanya.
Keempat, terdapat indikasi bahwa PT PSU tidak hanya mengambil bijih besi sebagaimana tertera dalam izin, tetapi juga mengambil material lain yang tidak dicantumkan dalam dokumen izin resmi, yang jika terbukti justru secara aturan merupakan bentuk penambangan ilegal atau penyalahgunaan izin tambang.
“Kemana Pemerintah Aceh terutama Kepala Dinas ESDM Aceh terkait persoalan itu. Jangan hanya bisa memberikan IUP kepada korporasi dengan dalih investasi, namun sangat minim dalam hal mengawasi dan memastikan investasi tersebut berjalan sesuai ketentuan dan tidak merugikan rakyat,” sesalnya.
GerPALA memandang bahwa sikap diam Pemerintah Aceh terhadap semua pelanggaran tersebut sangat bertolak belakang dengan respons cepat mereka saat Bupati Aceh Selatan menghentikan semwntara aktivitas perusahaan untuk kepentingan evaluasi.
Ini menunjukkan standar ganda dalam penegakan aturan yang digunakan untuk membela kepentingan perusahaan tanpa melihat kepentingan daerah dan masyarakat di lapangan.
Dia menegaskan, Pemerintah Aceh seharusnya mendukung evaluasi yang dilakukan Bupati sebagai bentuk pengendalian dan perlindungan masyarakat, bukan justru melemahkan kewenangan daerah yang dilindungi oleh qanun.
Dia juga menyatakan dukungan penuh terhadap langkah Bupati Aceh Selatan dan mendesak Pemerintah Aceh untuk tidak menjadi pelindung bagi korporasi tambang yang bermasalah, melainkan hadir sebagai pengayom dan pengawas pertambangan yang adil bagi seluruh rakyat Aceh.
GerPALA juga secara tegas meminta kepada Gubernur Aceh agar segera melakukan evaluasi terhadap kinerja Kepala Dinas ESDM Aceh.
Sebab, pernyataan yang tidak berdasar dan terkesan membela perusahaan tambang tersebut berpotensi memperkeruh situasi dan mengabaikan substansi persoalan yang dirasakan masyarakat.
“Gubernur Aceh tidak boleh menutup mata terhadap pejabat yang menggunakan dalih kewenangan untuk menolak persoalan riil di lapangan, termasuk dugaan pelanggaran serius oleh perusahaan tambang. Kinerja Kepala Dinas ESDM Aceh harus dikoreksi agar ke depan tidak terus menerus merugikan kepentingan rakyat Aceh dengan berlindung di balik pasal dan prosedur yang ditafsirkan secara sempit dan hanya memahami yang tekstual namun tak memahami persoalan kontekstual,”tegasnya.
Bahkan, jika kita lihat lebih jauh terkait perhentian sementara dan evaluasi aktivitas pertambangan, hal serupa pernah dilakukan Bupati Ende provinsi Nusa Tenggara Timur, Bupati Bone Bolango Gorontalo, Bupati Seluma Bengkulu dan beberapa daerah lainnya di Indonesia.
“Jika masih multitafsir dengan dalih hukum maka silahkan Kepala ESDM Aceh resapi lagi makna yang terkandung dalam berbagai aturan tersebut, termasuk soal amanah pasal 33 ayat UUD 1945,” sebutnya.
Irman memastikan masyarakat Aceh Selatan tidak anti investasi, apabila dilakukan secara sehat tanpa melanggar aturan.
“Masyarakat Aceh Selatan khususnya dan Aceh pada umumnya sangat terbuka dengan investasi yang dilakukan dengan sehat tanpa melanggar aturan, dan tentunya tidak merugikan rakyat dan daerah,” pungkasnya.**