Oleh: Tarmizi Nur, S.Sos.I., M.Sos
Dosen Prodi Hukum Keluarga Islam STAI Tapaktuan, Aceh Selatan.
Akhir-akhir ini, kasus perceraian di Aceh semakin marak dan menjadi perbincangan hangat di tengah masyarakat. Dalam kurun waktu enam bulan terakhir, ribuan kasus perceraian tercatat di Provinsi Aceh, dengan 2.311 di antaranya diajukan oleh istri akibat suami kecanduan judi online.
Selain itu, viral di media sosial kasus istri-istri yang mengajukan cerai setelah lolos seleksi Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (P3K). Fenomena ini menunjukkan betapa rapuhnya ikatan rumah tangga di Aceh dewasa ini.
Mediasi: Solusi Islami dalam Menyelesaikan Konflik Rumah Tangga
Dalam hukum Islam, mediasi (sulh) merupakan langkah utama yang sangat dianjurkan sebelum pasangan memutuskan untuk bercerai.
Hal ini sejalan dengan nilai-nilai Islam yang mengutamakan perdamaian dan musyawarah, sebagaimana firman Allah SWT dalam Surah An-Nisa ayat 35: “Jika kamu khawatir terjadi persengketaan antara keduanya, maka kirimlah seorang juru damai dari keluarga laki-laki dan seorang juru damai dari keluarga perempuan. Jika kedua juru damai itu bermaksud mengadakan perbaikan, niscaya Allah memberi taufik kepada suami-istri itu.”
Di Indonesia, mediasi telah diatur secara formal melalui Peraturan Mahkamah Agung (PerMA) Nomor 1 Tahun 2016, yang mewajibkan setiap pasangan yang ingin bercerai untuk terlebih dahulu melalui proses mediasi di pengadilan agama.
Tujuannya adalah memberi kesempatan kepada suami-istri untuk berdamai sebelum keputusan cerai dijatuhkan.
Mediasi di Aceh: Antara Tantangan dan Peluan
Berdasarkan penelitian di beberapa wilayah seperti Gorontalo dan Suwawa, mediasi terbukti efektif dalam mengurangi angka perceraian. Namun, di Aceh, penerapannya masih menghadapi beberapa kendala, seperti:
1. Kurangnya Kesadaran Masyarakat, Banyak pasangan yang langsung memutuskan cerai tanpa mencoba mediasi terlebih dahulu.
2. Perlu penguatan Peran Tokoh Adat dan Ulama –karena, di Aceh, tokoh adat dan ulama memiliki pengaruh besar dalam menyelesaikan sengketa keluarga.
3. Budaya “Perceraian Instan” – Pengaruh media sosial dan gaya hidup modern membuat sebagian orang menganggap perceraian sebagai solusi cepat tanpa mempertimbangkan dampak jangka panjang.
Perlu Sinergi antara Pengadilan Agama, Dayah, dan Keuchik
Agar mediasi lebih efektif di Aceh, diperlukan kolaborasi antara, pengadilan Agama, Memaksimalkan proses mediasi dengan melibatkan mediator yang kompeten.
Dayah dan Ulama, memberikan bimbingan pranikah dan pendampingan bagi pasangan yang bermasalah.
Keuchik dan Tokoh Adat,memainkan peran aktif dalam mendamaikan pasangan yang hendak bercerai, sesuai tradisi *peusijuek* (rekonsiliasi adat).
Jangan Terburu-buru Cerai, Utamakan Keluarga Sakinah
Perceraian bukanlah solusi instan. Setiap masalah rumah tangga pasti ada jalan keluarnya jika kedua pihak mau berusaha. Sebagaimana sabda Rasulullah SAW:
“Tidak halal bagi seorang muslim untuk meninggalkan (memutus hubungan dengan) saudaranya lebih dari tiga hari.” (HR. Bukhari).
Jika dalam persaudaraan saja Islam melarang bermusuhan terlalu lama, apalagi dalam rumah tangga yang diikat oleh mahram dan anak-anak.
Allah SWT juga sangat membenci sebuah perceraian. Sebagaimana sabda Rasulullah SAW : “Perkara halal yang sangat dibenci Allah SWT ialah talak (cerai).” (Kasyful Ghummah, halaman. 78, jilid 2).
Saat berpisahnya suami istri, anak-anak tidak lagi mendapatkan kehangatan secara utuh dalam sebuah keluarga.
Penutup
Mediasi harus menjadi jalan utama dalam menyelesaikan konflik rumah tangga di Aceh. Dengan melibatkan peran pengadilan agama, ulama, dan tokoh adat, diharapkan angka perceraian dapat ditekan dan keharmonisan keluarga Aceh tetap terjaga.
Mari jaga keluarga kita, karena keluarga yang kuat adalah pondasi masyarakat yang kuat.**