Aspiratif|Jakarta – Ketua Komisi II DPR Rifqinizamy Karsayuda menegaskan, perpanjangan masa jabatan DPRD dari lima tahun menjadi 7,5 tahun merupakan pelanggaran konstitusi.
Ia menjelaskan, pemilihan DPR, DPD, dan DPRD yang dilakukan setiap lima tahun sekali merupakan amanah Pasal 22E ayat (1) Undang-Undang Dasar (UUD) 1945.
“Rekayasa konstitusi itu tidak boleh melabrak konstitusi. Kalau kita bikin norma transisi perpanjangan masa jabatan anggota DPRD dari 5 tahun menjadi 7,5 tahun, berarti pemilunya 7,5 tahun dari 2024 kemarin, itu menabrak Pasal 22E Ayat 1,” ujar Rifqi di Kompleks Parlemen, Jakarta, Senin (7/7/2025).
Ia menjelaskan, putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang memisahkan pemilihan umum (pemilu) nasional dan daerah berdampak terhadap sejumlah peraturan perundang-undangan.
Salah satu imbas dari putusan tersebut adalah munculnya wacana perpanjangan masa jabatan DPRD. Sebab, MK mengusulkan agar pemilihan anggota DPRD dilakukan bersamaan dengan pilkada, yakni paling cepat dua tahun setelah pelantikan presiden/wakil presiden.
Tegasnya, tindak lanjut dari putusan MK tersebut jangan sampai melanggar konstitusi.
“Kalau kita membuat rekayasa norma pada level undang-undang yang nyata-nyata melabrak norma di Undang-Undang Dasar, kan kita bukan merekayasa konstitusi namanya, kita mengangkangi konstitusi,” ujar Rifqi.
Secara pribadi, politikus Partai Nasdem itu menolak wacana perpanjangan masa jabatan DPRD. Menurutnya, sistem kepemiluan di Indonesia harus tetap berpegang kepada konstitusi.
“Saya secara pribadi tidak akan pernah melakukan proses itu. Biar sejarah yang akan mencatat bagaimana keteguhan sikap kami terhadap konstitusi hari ini,” ujar Rifqi.
Potensi Digelar 2031
Ketua DPR Puan Maharani mengatakan, putusan MK yang memisahkan pemilu nasional dan daerah dipastikan berdampak ke semua partai politik. Diketahui, putusan tersebut membuat jadwal pelaksanaan pemilihan legislatif (pileg) DPRD digelar bersamaan dengan Pilkada paling singkat dua tahun setelah pelantikan presiden/wakil presiden. Atau paling lama dua tahun enam bulan setelah pelantikan presiden/wakil presiden. “Semua partai, kami juga pimpinan yang terdiri dari partai-partai politik, masih mengkaji. Dan nantinya tentu saja karena keputusan ini memberikan efek kepada semua partai,” ujar Puan di Kompleks Parlemen, Jakarta, Kamis (3/7/2025).
Jika putusan tersebut dilaksanakan, artinya pemilu nasional yang memilih presiden/wakil presiden, DPR, dan DPD tetap digelar 2029.
Lalu, pileg DPRD tingkat provinsi hingga kabupaten/kota dan pilkada digelar pada 2031, dari semula yang akan digelar serentak pada 2029. Oleh karena itu, Puan mengatakan bahwa DPR dan partai politik tengah mengkaji putusan MK Nomor 135/PUU-XXII/2024 lewat rapat koordinasi.
“(Rapat koordinasi) apakah itu secara formal ataupun secara informal untuk sama-sama berbicara, bersama, untuk menyatakan pendapat kami bersama-sama terkait dengan putusan MK ini,” ujar Puan.
Sebagai informasi, Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan memisah antara pemilihan umum (Pemilu) nasional dan daerah mulai 2029 dalam putusan Nomor 135/PUU-XXII/2024. Artinya, pemilu nasional hanya ditujukan untuk memilih anggota DPR, DPD, dan presiden/wakil presiden.
Sedangkan Pileg DPRD provinsi hingga kabupaten/kota akan dilaksanakan bersamaan dengan Pilkada. Dalam pertimbangan hukum, MK mengusulkan agar pemilihan legislatif (Pileg) DPRD yang bersamaan dengan pilkada digelar paling cepat dua tahun setelah pelantikan presiden/wakil presiden. Atau paling lama dua tahun enam bulan setelah pelantikan presiden/wakil presiden.[]
Sumber : Kompas.Com
