ASPIRATIF|ACEH SELATAN – Perusahaan perkebunan kelapa sawit PT Aceh Lestari Indo Sawita (ALIS) yang beroperasi di Dusun Ie Alem, Desa Jambo Dalem, Kecamatan Trumon Timur, diduga menggarap sekitar 1.357 hektare lahan tanpa memiliki sertifikat Hak Guna Usaha (HGU).
Koordinator Gerakan Anti Korupsi (GeRAK) Aceh, Askhalani, menilai praktik semacam ini merupakan bentuk pelanggaran hukum yang berbahaya jika dibiarkan. Ia menyebut aktivitas pengelolaan lahan tanpa izin resmi sebagai upaya melegalkan pelanggaran.
“Bagaimana bisa lahan yang belum punya izin resmi digarap dan dimanfaatkan, lalu ketika sudah untung, baru minta HGU diterbitkan? Ini seperti melegalkan pelanggaran,” kata Askhalani kepada AJNN, Selasa, 1 Juli 2025.
Ia menekankan bahwa penggarapan lahan tanpa HGU tidak memiliki dasar hukum sah dan berpotensi merugikan negara serta masyarakat.
“Sekalipun mereka mengklaim telah mengurus izin, tapi selama HGU belum keluar, maka tidak ada dasar hukum untuk membuka lahan. Ini bisa jadi praktik korupsi terselubung,” tegasnya.
Askhalani juga mengungkap adanya dugaan manuver politik dari elit daerah untuk memuluskan penerbitan HGU bagi lahan yang saat ini sudah digarap oleh PT ALIS.
“Ada upaya sistematis untuk memutihkan pelanggaran ini. Ini berbahaya bagi tata kelola agraria dan mencederai prinsip penegakan hukum,” kata dia.
GeRAK mendesak aparat penegak hukum, Ombudsman RI, Komisi II atau IV DPR RI, serta Kementerian ATR/BPN untuk segera melakukan audit dan investigasi menyeluruh.
“Ini bukan sekadar soal izin, tapi soal keadilan bagi masyarakat dan keberlanjutan lingkungan. Jangan sampai ini jadi preseden buruk, garap dulu, urus izin belakangan,” kata Askhalani.
Menanggapi polemik ini, Kepala Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (DPMPTSP) Aceh Selatan, Dzumairi, menjelaskan bahwa Persetujuan Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang (PKKPR) bukan bukti kepemilikan tanah.
“PKKPR hanya menyatakan bahwa rencana lokasi usaha sesuai dengan tata ruang. Masa berlakunya tiga tahun dan diajukan lewat sistem OSS,” jelasnya saat dikonfirmasi AJNN.
Ia merujuk pada Permen ATR/BPN Nomor 13 Tahun 2021 yang menegaskan bahwa setelah KKPR diterbitkan, pelaku usaha wajib membebaskan lahan dari hak pihak lain secara sah, baik melalui jual beli, konsolidasi tanah, atau bentuk lain yang diatur undang-undang.
“Selama belum ada pembebasan lahan, hak masyarakat atas tanah tetap diakui. Dan kalau masyarakat menolak pembebasan, ya PKKPR tidak bisa dilanjutkan jadi izin usaha,” tambah Dzumairi.
Hingga berita ini diterbitkan, pihak PT ALIS belum memberikan tanggapan resmi meski wartawan AJNN telah beberapa kali menghubungi melalui sambungan telepon.[]
Sumber : AJNN
