ASPIRATIF.ID – Sebanyak empat pulau milik Aceh yang berada di Kabupaten Aceh Singkil kini ditetapkan sebagai bagian dari wilayah Kabupaten Tapanuli Tengah, Provinsi Sumatera Utara.
Perubahan status administratif itu tertuang dalam Keputusan Menteri Dalam Negeri (Kepmendagri) Nomor 300.2.2-2138 Tahun 2025 tentang Pemberian dan Pemutakhiran Kode serta Data Wilayah Administrasi Pemerintahan dan Pulau, yang ditetapkan pada 25 April 2025.
Keempat pulau tersebut ialah Pulau Mangkir Besar, Pulau Mangkir Kecil, Pulau Lipan, dan Pulau Panjang. Proses perubahan status ini telah berlangsung lama sebelum Muzakir Manaf dan Fadhlullah menjabat sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur Aceh.
Pemerintah Aceh bersikukuh keempat pulau itu masih miliknya, sementara Pemerintah Sumut menganggap hal tersebut adalah keputusan pemerintah pusat.
Pemerintah Aceh Perjuangkan Peninjauan Ulang
Kepala Biro Pemerintahan dan Otonomi Daerah Setda Aceh, Syakir, mengatakan, Pemerintah Aceh berkomitmen untuk memperjuangkan peninjauan ulang keputusan tersebut.
“Sesuai dengan komitmen Pak Gubernur dan Pak Wakil Gubernur, Pemerintah Aceh akan terus memperjuangkan agar keempat pulau itu dikembalikan sebagai bagian dari wilayah Aceh,” kata Syakir kepada awak media di Banda Aceh, Senin (26/5/2025).
Syakir mengungkapkan, saat proses verifikasi dilakukan, Pemerintah Aceh bersama tim dari Kementerian Dalam Negeri telah turun langsung ke lokasi untuk melakukan peninjauan keempat pulau tersebut.
Dalam verifikasi itu, Pemerintah Aceh menunjukkan berbagai bukti otentik, termasuk infrastruktur fisik, dokumen kepemilikan, serta foto-foto pendukung.
Verifikasi ini juga melibatkan Pemerintah Provinsi Sumatera Utara, Pemerintah Kabupaten Tapanuli Tengah, dan Pemerintah Kabupaten Aceh Singkil.
Di Pulau Panjang, misalnya, Pemerintah Aceh memperlihatkan sejumlah infrastruktur yang dibangun oleh Pemerintah Aceh dan Pemkab Aceh Singkil. Seperti tugu selamat datang, tugu koordinat dibangun oleh Dinas Cipta Karya dan Bina Marga pada tahun 2012, rumah singgah dan mushala (2012), serta dermaga dibangun pada tahun 2015.
“Dokumen-dokumen pendukung juga telah kami serahkan, baik dari Pemerintah Aceh maupun dari Pemkab Aceh Singkil. Di antaranya terdapat peta kesepakatan antara Gubernur Aceh dan Gubernur Sumatera Utara yang disaksikan oleh Mendagri pada 1992,” tuturnya.
Peta tersebut menunjukkan garis batas laut yang mengindikasikan bahwa keempat pulau tersebut masuk dalam wilayah Aceh.
“Sebenarnya, dengan adanya kesepakatan kedua gubernur yang disaksikan oleh Mendagri pada 1992, secara substansi sudah jelas bahwa keempat pulau tersebut adalah bagian dari Aceh,” ungkap Syakir.
Bukti lainnya, sebut Syakir, termasuk dokumen administrasi kepemilikan dermaga, surat kepemilikan tanah tahun 1965, serta dokumen pendukung lainnya.
Di Pulau Mangkir Ketek, tim juga menemukan sebuah prasasti bertuliskan bahwa pulau tersebut merupakan bagian dari Aceh. Prasasti ini dibangun pada Agustus 2018, mendampingi tugu sebelumnya yang dibangun oleh Pemkab Aceh Singkil pada tahun 2008 dengan tulisan “Selamat Datang di Kabupaten Aceh Singkil, Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.”
Pada tahun 2022, Kemenko Polhukam juga telah memfasilitasi rapat koordinasi lintas kementerian/lembaga yang pada umumnya peserta rapat menyampaikan bahwa berdasarkan dokumen dan hasil survei, keempat pulau tersebut masuk dalam cakupan wilayah Aceh.
Hal ini dibuktikan melalui aspek hukum, administrasi, pemetaan, pengelolaan pulau, serta layanan publik yang telah dibangun oleh Pemerintah Aceh dan Pemkab Aceh Singkil.
Senator Haji Uma Surati Mendagri sejak 2017
Senator Haji Uma Surati Mendagri sejak 2017 Anggota Komite I DPD RI asal Aceh, H. Sudirman atau Haji Uma, sejak 2017 telah menyurati Kemendagri untuk menyampaikan aspirasi dan fakta historis serta administratif bahwa pulau-pulau tersebut merupakan bagian dari Aceh.
“Ini aspirasi daerah yang saya sampaikan berkali-kali, baik secara langsung maupun tertulis. Namun, tidak ada tindak lanjut yang jelas. Saya sudah surati Kemendagri sejak 2017, tetapi tidak digubris,” kata Haji Uma saat dihubungi kompas.com via telepon, Rabu (28/5/2025).
“Bahkan, saat Aceh diminta membawa data pendukung, itu pun tidak diindahkan dan akhirnya tetap menetapkan pulau tersebut masuk wilayah Sumut,” ucapnya.
Menurut Haji Uma, keputusan Mendagri sangat mencederai fakta sejarah dan data faktual di lapangan.
Dia mengungkapkan, sejak 17 Juni 1965, keempat pulau tersebut sudah berada dalam wilayah Aceh dan dihuni oleh masyarakat Aceh. Bahkan, beberapa warga yang pernah tinggal di sana kini menetap di Bakongan, Aceh Selatan.
“Secara historis dan faktual, itu wilayah Aceh. Pemerintah Aceh juga sudah mengucurkan anggaran untuk membangun tugu dan rumah singgah nelayan di sana pada tahun 2012. Kok bisa tiba-tiba diambil alih begitu saja,” katanya.
Bobby ke Aceh Temui Mualem
Gubernur Sumatera Utara (Sumut), Bobby Nasution, bersama Bupati Tapanuli Tengah, Masinton Pasaribu, berkunjung ke Aceh menemui Gubernur Muzakir Manaf untuk membahas status kepemilikan empat pulau tersebut.
Pertemuan antar-kepala daerah itu berlangsung pada Rabu (4/6/2025), di Pendopo Gubernur Aceh. Tidak berlangsung lama, Muzakir Manaf lebih dulu meninggalkan lokasi karena ada agenda pertemuan dengan masyarakat.
Bobby dan rombongan melanjutkan pertemuan (silaturahmi) dengan Kepala Biro Pemerintahan dan Otonomi Daerah Setda Aceh, Syakir, beserta beberapa unsur pejabat lainnya.
Bobby mengatakan, Pemerintah Provinsi Sumatera Utara (Sumut) tidak pernah mengusulkan keempat pulau itu masuk ke wilayahnya. Semua itu merupakan keputusan Kemendagri atau pemerintah pusat.
“Kalau dari kami, bahasa kami, bukan semata-mata usulan dari pihak Provinsi Sumatera Utara. Tentu ada mekanisme yang berjalan, tetapi di luar itu apa pun potensi di dalamnya, kami tadi sepakat dan saya sampaikan harus bisa kita kelola sama-sama, baik Provinsi Sumatera Utara dan Aceh,” katanya.
Menurut Bobby, semua mekanisme terkait status keempat pulau tersebut ada di Kemendagri. Sama sekali tidak ada intervensi dari Pemerintah Sumut.
“Ini kan mekanismenya bukan serta-merta kalau kami bilang kami kembalikan, bisa kembali pulaunya, bukan seperti itu juga. Yang hari ini kami pikirkan bagaimana potensi yang ada di dalamnya bisa dikelola sama-sama,” ujarnya.
Kepada Gubernur Aceh, sebut Bobby, dirinya turut menyampaikan soal kolaborasi menyangkut potensi yang ada di keempat pulau tersebut.
“Saya tidak bicara ini akan dikembalikan atau tidak, ini akan punya siapa, tidak,” ungkapnya.
Bobby Terbuka jika Harus Dikembalikan ke Aceh
Kendati demikian, jika ke depannya ada pembahasan lanjutan terkait permasalahan empat pulau ini, Bobby akan terbuka untuk berdiskusi mencari jalan terbaik.
“Kalau nanti ada pembahasan lagi ini harus masuk ke Aceh kembali atau tetap Sumut, ini kami terbuka. Tapi, kita bicara jangan ke situnya terus. Tadi saya dengan Pak Gubernur Aceh bicara ketika itu ada di Sumut atau akan kembali ke Aceh, kita ingin sama-sama potensinya di kolaborasikan,” tuturnya.
Penjelasan Mendagri Tito Karnavian
Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tito Karnavian menjelaskan alasan empat pulau di Kabupaten Aceh Singkil ditetapkan masuk menjadi bagian dari Sumatera Utara. Tito mengatakan, penetapan ini sudah melalui proses panjang serta melibatkan banyak instansi terkait.
“Sudah difasilitasi rapat berkali-kali, zaman lebih jauh sebelum saya, rapat berkali-kali, melibatkan banyak pihak,” kata Tito saat ditemui di Kompleks Istana Negara, Selasa (10/6/2025).
“Ada delapan instansi tingkat pusat yang terlibat, selain Pemprov Aceh, Sumut, dan kabupaten-kabupatennya. Ada juga Badan Informasi Geospasial, Pus Hidros TNI AL untuk laut, dan Toppgrafi TNI untuk darat,” lanjutnya.
Tito mengatakan, batas wilayah darat antara Aceh Singkil dan Tapanuli Tengah sudah disepakati oleh kedua belah pihak. Sementara itu, batas laut dua wilayah itu belum mencapai kesepakatan. Maka itu, lanjut Tito, penentuan perbatasan wilayah laut ini diserahkan ke pemerintah pusat.
Namun, penentuan batas laut ini tidak pernah sepakat sehingga membuat sengketa terkait empat pulau terus bergulir.
“Nah tidak terjadi kesepakatan, aturannya diserahkan kepada pemerintah nasional, pemerintah pusat di tingkat atas,” kata Tito.
Menurut Tito, pemerintah pusat memutuskan bahwa empat pulau ini masuk ke wilayah administrasi Sumatera Utara berdasarkan tarikan batas wilayah darat.
“Nah, dari rapat tingkat pusat itu, melihat letak geografisnya, itu ada di wilayah Sumatera Utara, berdasarkan batas darat yang sudah disepakati oleh empat pemda, Aceh maupun Sumatera Utara,” tuturnya.
Lebih lanjut, Tito menegaskan pemerintah pusat terbuka terhadap evaluasi atas keputusan yang ada. Bahkan, kata dia, pemerintah terbuka jika ada gugatan hukum ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) soal penetapan empat pulau terkait.
“Kami terbuka juga untuk mendapatkan evaluasi, atau mungkin, kalau ada yang mau digugat secara hukum, ke PTUN misalnya, kami juga tidak keberatan. Kami juga tidak ada kepentingan personal, selain menyelesaikan batas wilayah,” ucapnya.
Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) akan mempertemukan Gubernur Aceh Muzakir Manaf dengan Gubernur Sumatera Utara Bobby Nasution untuk membahas perubahan administratif empat pulau yang semula masuk wilayah Aceh ke Sumatera Utara.
Direktur Jenderal Bina Administrasi Wilayah Safrizal Zakaria Ali mengatakan, pertemuan kedua pemimpin daerah itu menjadi salah satu opsi untuk mencari titik temu peralihan status administrasi empat pulau tersebut.
“Apakah kemudian nanti berikutnya Menteri Dalam Negeri (dan) Kemenko Polkam akan mempertemukan kedua gubernur, salah satu opsinya,” kata Safrizal.
Safrizal Zakaria Ali mengatakan bahwa keempat pulau yang diperebutkan ini tidak berpenduduk.
“Karena ini statusnya dalam Permendagri sebagai pulau kosong, tidak berpenghuni, tak berpenduduk namanya,” ujarnya.
Hal ini diketahui setelah melakukan survei lokasi secara langsung pada Juni 2022. Pulau Panjang, misalnya, dengan luas 47,8 hektar, tidak memiliki penduduk yang bermukim di pulau tersebut.
Hanya ditemukan dermaga yang dibangun pada 2015 dan tugu batas wilayah oleh Pemerintah Provinsi Aceh pada 2007. Terdapat juga rumah singgah dan mushala yang dibangun sekitar 2012 oleh Pemda Aceh Singkil serta makam aulia.
Pulau yang paling nahas nasibnya adalah Pulau Lipan. Pulau ini hampir bisa dikatakan hilang karena kenaikan muka air laut. Temuan Kemendagri menyebut luasnya hanya 0,38 hektar berupa daratan pasir dan tidak berpenghuni.
“Dari hasil pemantauan tim di Pulau Lipan ditemukan data dan fakta bahwa Pulau Lipan berupa daratan pasir, dan saat pasang tertinggi pukul 9.25 WIB, pulau dalam kondisi tenggelam,” kata Safrizal.
Menurut Safrizal, konflik ini bermula dari verifikasi data Tim Nasional Pembakuan Nama Rupabumi yang disusun oleh Kemendagri, Kementerian Kelautan, Bakosurtanal, pakar toponimi, dan Pemerintah Aceh pada 2008. Saat itu, Provinsi Aceh telah memverifikasi dan membakukan 260 pulau.
Namun, tidak terdapat empat pulau, yaitu Mangkir Gadang (Besar), Mangkir Ketek (Kecil), Pulau Lipan, dan Pulau Panjang. Pada November 2009, Gubernur Aceh menyampaikan surat konfirmasi untuk 260 pulau dengan perubahan nama Pulau Rangit Besar menjadi Mangkir Besar, Rangit Kecil menjadi Mangkir Kecil, Pulau Malelo menjadi Pulau Lipan, dan Pulau Panjang tetap dengan nama yang sama dengan masing-masing koordinatnya.
Namun, setelah Kemendagri melakukan konfirmasi koordinat, keempat pulau yang diusulkan dengan titik koordinat masing-masing tidak menunjukkan posisi yang dimaksud. Koordinat yang berada dalam surat Gubernur Aceh berada di wilayah Kecamatan Pulau Banyak, bukan di wilayah Kecamatan Singkil Utara.
Kemendagri melihat ada kejanggalan nama pulau dengan titik koordinat yang berbeda karena empat pulau yang dimaksud berjarak 78 kilometer dari titik koordinat yang diberikan Aceh.
Kemendagri kemudian melakukan rapat pembahasan untuk melakukan analisis spasial terhadap empat pulau yang menjadi konflik dan hasilnya pada 8 November 2017, Dirjen Bina Adwil Nomor 125/8177/BAK menegaskan bahwa empat pulau tersebut masuk dalam cakupan Provinsi Sumatera Utara.
Aceh kemudian kembali mengeluarkan surat untuk merevisi koordinat empat pulau tersebut yang semula titiknya berada di Pulau Banyak berpindah ke Singkil Utara.
Dalam surat itu juga dijelaskan bahwa koordinat yang semula dicantumkan adalah milik Pulau Rangit Besar, Rangit Kecil, Malelo, dan Panjang yang berada di Pulau Banyak.
Namun, setelah rapat bersama Kementerian Koordinator Bidang Maritim dan Investasi (Kemenkomarves), KKP, dan berbagai lembaga/kementerian pada 2020, disepakati bahwa empat pulau itu masuk wilayah Provinsi Sumatera Utara.
Pada 13 Februari 2022, kembali dibahas empat pulau tersebut bersama dengan Pemda Aceh dan Pemda Sumut, tetapi tidak terjadi kesepakatan.
Karena itu, pada 14 Februari 2022, Kemendagri menerbitkan Keputusan Nomor 050-145 tentang pemutakhiran kode, data wilayah administrasi yang memasukkan empat pulau tersebut ke dalam wilayah Sumut. []
Sumber : Kompas.Com