Menu

Mode Gelap
 

Nasional · 2 Jun 2025 01:59 WIB ·

100 Hari Pramono-Rano, Bukan Untuk Gagah-gagahan


 Gubernur DKI Jakarta Mas Pram dan Bang Doel Perbesar

Gubernur DKI Jakarta Mas Pram dan Bang Doel

Aspiratif.Id – Evaluasi 100 Hari jamak dilakukan untuk menilai kinerja para pemimpin politik. Saking rutinnya, kerap menjadi ritual belaka yang jatuh dalam dua ekstrem: puja puji dan caci maki.

Keduanya menjauh dari hakikat menagih janji yang terukur dan objektif.

Termasuk cara kita memperlakukan hasil survei yang seolah mengunci dalam adu balap yang melupakan esensi politik desentralisasi dan kerja-kerja kolektif yang justru menjadi ciri Indonesia.

Saya tak mau berlagak serba beda dan sok tahu. Maka saya membatasi diri membahas capaian 100 Hari Mas Pram-Bang Doel, hanya karena saya ada pada jarak cukup dekat ketika membantu menyiapkan berbagai koordinasi dan strategi mewujudkan janji kampanye saat Tim Transisi, dan berlanjut kini saat mendampingi keduanya sebagai salah satu koki di dapur kebijakan Balai Kota.

Sejak awal, saya merasa nyaman membantu karena kedua pemimpin baru Jakarta ini menegaskan sudah selesai dengan dirinya, akan fokus melayani warga Jakarta, dan tak pernah mengobral janji-janji muluk.

Mereka realistis dengan kompleksitas Jakarta, tingginya ekspektasi publik, dan kesadaran bahwa Jakarta adalah barometer ekonomi-politik nasional.

Maka, menunjukkan komitmen untuk bekerja adalah modal awal yang dianggap cukup.

Keberanian untuk tak populer ditunjukkan secara otentik. Ia lebih suka mengejar pajak orang mampu ketimbang memutihkannya. Setiap Rabu, ia mengajak dan memberi contoh penggunaan moda transportasi publik.

Jakarta sudah memiliki sejarah panjang membangun dan menghidupi pasang surut sosial-politik sebagai ibu kota republik, hingga kini disiapkan menjadi pusat bisnis yang berstandar global.

Yang padanannya bukan lagi Bandung, Medan, atau Surabaya, melainkan Singapura, Bangkok, Tokyo, dan Shanghai.

Berbagai program unggulan dan torehan prestasi para pendahulu dan sinergi dengan Pusat pun amat nyata, hingga tak perlu sibuk menawarkan program baru yang tampak sekadar kosmetik.

Mas Pram adalah politisi senior yang sangat matang. Di usia muda sudah dipercaya menjadi Sekretaris Presiden Megawati sekaligus Sekjen PDI-P. Lalu menjadi anggota dan pimpinan DPR sebelum hampir dua periode menjadi Sekretaris Kabinet.

Saya perlu menyebut lugas senior dan matang, karena kedua ciri itu amat nyata pada pribadi Mas Pram. Ia tak pernah meledak-ledak, reaktif, atau emosional terhadap satu fenomena.

Biasanya, ia tertegun dalam diam saat ada hal yang mengusik. Tampaknya, secara spontan, ia memilih berpikir ketimbang bereaksi.

Sikap itu pula yang tampak dalam rapat-rapat internal yang efektif, tanpa perlu tumbal untuk dihardik demi kesan tegas. Ketika ditawarkan memanfaatkan satu momen untuk pencitraan, tegas ia menampik.

Sekali lagi, dia memilih menunjukkan kesungguhan bekerja untuk warga. Sedikit tentang Bang Doel. Dalam pandangan saya, ia lebih spontan dan impulsif. Ia tampil apa adanya, kadang meledak meski lebih banyak canda tawa.

Bang Doel gampang terusik oleh ketidakadilan, pelanggaran, atau ketidakberesan. Saya melihat mantan aktor legendaris ini pembelajar yang tekun.

Banyak isu baru dan berat ingin diketahui dan dicari solusinya. Pengalaman menjadi kepala daerah dan anggota DPR tentu amat penting membentuk kepemimpinan Bang Doel. Bagi saya, beliau adalah abang yang penuh perhatian dan kawan diskusi yang sangat menyenangkan.

Modalitas kerja Duet pemimpin baru Jakarta ini menyadari sepenuhnya memimpin Jakarta di saat seperti ini sungguh tak mudah.

Maka, sejak awal, gesture yang dibangun adalah keinginan menjaga hubungan baik dan sinergi dengan Pusat. Kontestasi politik sudah usai.

Kini saatnya berkolaborasi. Tak mungkin ada orang yang bisa sukses sendiri. Lantas, modalitas apa yang dibangun Mas Pram-Bang Doel? Pertama, bekerja dengan sistem.

Sejak awal Mas Pram menegaskan akan bekerja dengan ASN Jakarta. Dia tak akan membawa ASN dari luar untuk menjadi pejabat Pemprov Jakarta.

Mas Pram sangat percaya pada sistem yang rekam jejaknya cukup panjang selama memimpin Setkab. Dia sadar birokrasi adalah mesin yang mesti dirangkul dan diarahkan, bukan untuk dicurigai dan dimusuhi.

Dengan mekanisme dan arahan yang jelas, dibangun sinergitas bukan rivalitas.

Kantor Gubernur juga bukan ruang eksklusif melainkan menjadi rumah bersama, yang disediakan untuk beraudiensi dengan banyak sekali tamu dari beragam latar belakang.

Birokrasi adalah mesin utama yang dipercaya untuk bekerja, dibantu para Stafsus dan Tenaga Ahli untuk memastikan akselerasi dan fokus pada program prioritas.

Rapat rutin dilakukan untuk membahas hal strategis hingga teknis. Semua arahan dan keputusan diambil secara terbuka. Salah satu bukti, penyusunan RPJMD secara teknokratik dan partisipatoris, dalam arti meracik visi misi dan program Gubernur-Wakil Gubernur dalam kerangka pikir Asta Cita yang koheren dan sinergis, yang dibahas secara elegan dengan DPRD DKI Jakarta sebagai representasi rakyat.

Kedua, kolaborasi dengan pemangku kepentingan. Kematangan Mas Pram ditunjukkan dengan kepiawaian mengelola dinamika politik. Residu kontestasi politik tak perlu menjadi sentimen yang negatif dan subyektif.

Koordinasi dengan pemerintah Pusat bahkan amat intensif. Saya adalah saksi hidup betapa Mas Pram terus mewanti-wanti dan memberi arahan soal ini.

Saat Musrenbang Jakarta, setidaknya Menteri Koordinator Bidang Infrastruktur dan Pembangunan Kewilayahan Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) dan Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) Rachmat Pambudy hadir, selain para pejabat eselon 1 dari K/L.

Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) Amalia Adininggar Widyasanti datang berdiskusi tentang persiapan sensus ekonomi tahun depan. Dewan Pengarah Kesamsatan Nasional–Kakorlantas, Dirjen Keuda Kemendagri, dan Dirut Jasa Rahardja pun berkunjung untuk berkoordinasi membangun tata kelola kendaraan bermotor yang lebih baik.

Gubernur Banten Andra Soni pun menyambangi Balai Kota dan dibalas dengan kunjungan silaturahmi Wagub Rano Karno, hingga berpuncak pada peluncuran bersama jalur baru TransJabodetabek.

Mas Pram pun sigap membangun kerja sama contract farming dengan Bupati Karawang yang merupakan daerah utama penghasil beras. Juga mengajak Wali Kota Bekasi Tri Adhianto Tjahyono, Bupati Bogor Rudy Susmanto, Wali Kota Depok Supian Suri, dan Wali Kota Tangsel Benyamin Davnie membangun integrasi moda transportasi publik yang menguntung warga.

Untuk mewujudkan Jakarta Collaboration Fund, Pemprov Jakarta tak segan belajar langsung dari pengelolaan INA dan Danantara. Termasuk untuk mengelola BUMD yang baik, Mas Pram meminta rekomendasi talenta terbaik dari BUMN yang akhirnya menjadi direksi Bank DKI, termasuk mengikuti arahan OJK untuk membangun sinergi Bank DKI dengan Bank Maluku dan Malut.

Beberapa waktu lalu, Gubernur NTT Melki Laka Lena mengajak seluruh bupati dan wali kota se-NTT berkunjung ke Balai Kota Jakarta untuk menjajaki kerja sama yang lebih erat. Gubernur Maluku Utara pun datang bersama rombongan untuk belajar tentang JAKI, aplikasi terintegrasi sebagai basis pelayanan digital untuk warga DKI.

Terakhir, Gubernur Jakarta bersurat ke Mensesneg untuk mendapatkan arahan dan persetujuan revitalisasi kawasan Thamrin. Ketiga, membuka ruang partisipasi yang luas.

Sejak awal kontestasi di Pilgub DKI, Mas Pram-Bang Doel menyadari tak mungkin sendirian mengemban mission impossible ini.

Maka ruang partisipasi dibuka luas. Keterlibatan berbasis kesukarelawanan dengan memberikan prioritas pada komunitas warga dan budaya. Kemenangan Pram-Doel merupakan kemenangan politik partisipatoris.

Pilar-pilar penting yang dapat meyangga roda kerja politik dirangkul dan diberdayakan. Sejak pelantikan, para mantan gubernur DKI diundang, disapa, dan didengarkan.

Jakarta menjadi milik semua. Bahkan mantan rival saat Pilgub pun diterima dan didengarkan masukannya.

Untuk memperkuat, Bang Doel melapis dengan membangun relasi kuat dengan komunitas seni, budaya, olah raga, dan lainnya. Salah satu komitmen partisipatoris adalah IPO BUMD DKI untuk memastikan pengawasan publik secara luas dan langsung. Keempat, Kota Global sebagai game changer.

Secara legal sesuai UU 2/2024, Jakarta masih tetap menyandang status Ibukota NKRI hingga perpindahan formal ke IKN dilakukan. Sesuai mandat UU 2/2024, Jakarta bergegas untuk mewujudkan impian sebagai kota global. Ini bukan soal ambisi, melainkan ikhtiar agar seluruh indikator pelayanan publik punya patok banding (benchmark) yang unggul.

Sektor pendidikan, kesehatan, transportasi publik, energi dan pengelolaan sampah, ekonomi kreatif, dan budaya adalah fokus yang mesti digarap dengan baik agar Jakarta layak menjadi kota global yang membanggakan. Di titik inilah imajinasi Mas Pram menemukan konteks dan relevansi.

Ia selalu teringat pada pengalaman masa kecil melihat Monas, yang menyemangatinya untuk belajar serius dan berprestasi. Itu pula yang dia lakukan ketika mengaktivasi taman 24 jam, membuka perpustakaan dan museum lebih lama, dan memberi kesempatan anak-anak mengunjungi TMII, Monas, Ancol secara gratis. Ia ingin menularkan mimpi masa kecil dan pengalaman mendidik anak kepada orang lain.

Program 100 Hari sebagai Fondasi

Garis ketidakberuntungan harus diputus! Itu sebuah pernyataan politik yang lugas dan proposisi filosofis yang mendalam. Saya langsung terbayang John Rawls, teoretikus keadilan paling masyhur yang mengusulkan maslahat terbesar bagi mereka yang paling tidak beruntung sebagai ukuran sahih bagi kebijakan publik.

Dalam batu pijak pemikiran Rawls, saya pun teringat usulan Amartya Sen, ekonom besar peraih Nobel, yang mengusulkan pendekatan kapabilitas sebagai ukuran capaian pembangunan, alih-alih sekadar angka statistik PDB, pertumbuhan ekonomi, tingkat inflasi, atau nilai tukar.

Dan rangkaian pemikiran penting itu saya temukan dalam kepemimpinan Mas Pram-Bang Doel. Saya perlu kembali ke awal, Program 100 Hari Pram-Doel bukanlah upaya gagah-gagahan. Itu sebuah proyek sengaja yang diciptakan untuk merangsang imajinasi bersama.

Tak perlu muluk-muluk, tapi menjangkau kebutuhan dasar warga Jakarta. Kita belajar mendengarkan dan menjawab keinginan warga–demikian Mas Pram berulang kali mewanti-wanti. Maka 40 program prioritas itu lebih tepat diletakkan sebagai fondasi dan batu bata pertama dari sebuah konstruksi jembatan yang disiapkan dalam lima tahun ke depan.

Layaknya fondasi, ia tak tampak di permukaan. Namun, mesti kokoh dan solid. Maka komitmen ini dituangkan dalam Instruksi Gubernur agar mengikat seluruh mesin birokrasi dan dapat diawasi seluruh pihak.

Kami menyusun indikator capaian yang terukur. Sekali lagi, ini bukan hasil akhir melainkan langkah awal. Bak langkah pembuka dalam permainan catur atau sepakan pertama di sepakbola, yang akan menentukan irama permainan selanjutnya.

Implementasi 40 program di 100 hari pertama ini ini juga sekaligus dimaksudkan sebagai batu uji dan instrumen partisipasi publik. Batu uji untuk mengukur kesiapan mesin birokrasi dan seluruh perangkat teknisnya. Ada keterlibatan, termasuk aspirasi dan kritik. Hal yang amat penting dan sehat dalam pemerintahan demokratis.

Jika sedikit bernostalgia, apa yang disodorkan Mas Pram dan Bang Doel sejatinya model people-centered development yang terkenal di akhir abad ke-20.

Warga menjadi subyek dan aktor utama pembangunan. Proyek memutus garis ketidakberuntungan dimulai dari menebus ijazah yang tertahan sehingga mereka bisa bersaing mendapatkan pekerjaan yang layak.

Lalu penerima KJP dan KJMU diperluas dengan tetap memperhatikan akurasi data. Bahkan penerima KJMU akan diperluas ke jenjang S2 dan S3, demi mewujudkan mimpi siapapun berhak pintar dan sukses.

Proyek rumah sakit berstandard internasional dimulai, di tengah komersialisasi sektor kesehatan. Maksudnya sederhana, agar setiap warga Jakarta dapat mengakses layanan kesehatan terbaik sebagai hak dasar warga.

Meminjam Ronald Dworkin, ini sebuah imajinasi bahwa siapa pun berhak bermimpi jadi orang kaya dan akan membayar pajak, seraya berharap saat sakit akan ditolong oleh negara.

Mas Pram bisa membayangkan tingkat stress warga Jakarta yang bertahun-tahun hidup dengan kemacetan tanpa jalan keluar selain pasrah.

Pula banjir tahunan yang meluas dan dampaknya sangat merugikan. Dua hal ini ingin dijawab secara teknokratik dan sedini mungkin.

Maka 100 Hari Pertama adalah sinyal keberpihakan dan kesungguhan. Hari pertama bekerja, pasukan warna warni diaktifkan kembali. Selain mengeruk kali dan normalisasi bantaran, juga penanganan sampah hingga merawat para lansia.

Daycare yang menjadi kebutuhan vital keluarga-keluarga di Jakarta, juga mulai disediakan. Untuk memastikan inisiatif ini berjalan secara bottom up, pengurus RT/RW, Jumantik, Dasawisma, Posyandu diberi tugas tambahan dan disesuaikan insentifnya.

Wilayah RT/RW sebagai komunitas basis juga akan diintegrasikan dengan CCTV terpadu sehingga aspek keamanan dan kenyamanan tetap terjadi, tentu dengan tetap menjaga privasi warga.

Kembali ke soal manusia. Problem klasik seperti tawuran, kekerasan, penyerobotan trotoar, parkir liar, dan lainnya adalah problem sosial yang mesti dikenali akar masalahnya dan dicarikan solusi komprehensif berjangka panjang. Barangkali terdengar utopis, tetapi aktivasi ruang publik kota merupakan prasyarat mutlak.

Pun logika transportasi publik bukan sekadar isu mobilitas, tetapi bersinggungan dengan problem sosial yang lebih luas.

Dengan transportasi publik yang baik dan penghematan waktu tempuh, warga diharapkan memiliki waktu lebih untuk menikmati kehidupan sosial.

Warga kota yang dihimpit laju ekonomi kapitalistik yang tak kenal lelah mengejar laba butuh ruang publik sebagai katarsis.

Individualisme dan gejala atomisme masyarakat perkotaan harus menjadi perhatian, maka kohesi sosial harus dipulihkan dan dirawat.

Taman kota adalah bentuk keberpihakan pada warga yang butuh ruang terbuka yang segar, sebagai sarana memulihkan relasi lewat perjumpaan.

Perpustakaan dan museum yang dibuka lebih lama juga sinyal bagi perhatian untuk memperkuat modal sosial, di samping perhatian yang lebih besar bagi tumbuh kembangnya budaya sebagai bentuk ekspresi kolektif warga.

Tentu saja itu tak cukup. Namun, gerak langkah bersama berbasis sistem, pola kerja, partisipasi, dan kontrol publik ini diharapkan lebih menjamin ikhtiar menjaga dan mengoptimalkan peran Jakarta bagi kebaikan warga.

Pengamatan jarak dekat pada cara bekerja dan berpikir Mas Pram dan Bang Doel, harapan itu kuat tersembul. Kerja-kerja teknokratik secara rutin dijalankan.

Sisi pendapatan, belanja, pembiayaan, dan kinerja BUMD dicermati dalam detail. Penyediaan air bersih, pengolahan sampah terpadu, dan pengembangan ekonomi yang mendatangkan nilai tambah terbesar bagi warga, terus menjadi perhatian.

Ini membuat saya déjà vu pada cara kerja Bu Sri Mulyani saat saya lima tahun membantu di Kementerian Keuangan. Kerja sunyi yang butuh ketekunan dan daya juang. Mirip pepatah Jawa, sepi ing pamrih rame ing gawe.

Saya semakin sadar, Mas Pram dan Bang Doel sedang meletakkan batu penjuru untuk fondasi yang kuat.

Mereka sedang berupaya membangun jembatan untuk mengantar warga Jakarta, dan tentu juga sekitarnya, untuk mencapai tujuan bersama, yaitu kondisi hidup yang lebih baik. Waktu 100 hari di awal cukup pasti tak cukup untuk menilai.

Namun, kiranya cukup fair dijadikan sinyal awal tentang kesungguhan bekerja melayani publik. Perjalanan masih panjang. Tak perlu tergoda untuk berlomba membangun persepsi di atas fondasi batu yang rapuh.

Kerja telaten dengan fondasi yang kuat dan sabar menata bata demi bata kiranya menjadi cara kerja yang baik. Itulah analogi untuk komitmen menjaga integritas, bekerja profesional, menjaga akuntabilitas, berfokus pada kebaikan bersama.

Dan itu hanya mungkin jika kita percaya pada kerja kolektif, membangun sosialitas, dan sudi mengempiskan ego yang terkadang menggoda diri untuk menangguk segala citra baik. Selamat dengan capaian 100 hari, Mas Pram dan Bang Doel.

Warga Jakarta dan publik luas, mari terus kawal dengan keterlibatan, masukan, gagasan, dan kritik. Mimpi Jakarta sebagai kota global adalah mimpi Indonesia, rumah kita bersama.[]

Penulis : Yustinus Prastowo (Staf Khusus Menteri Keuangan Bidang Komunikasi Strategis)

Sumber :Kompas.Com

banner 350x350
Artikel ini telah dibaca 34 kali

badge-check

Redaksi

Baca Lainnya

Praktisi Hukum : Qanun BUMD Harus Menyentuh Semua Aspek

9 Juli 2025 - 16:25 WIB

Dukung Ketahanan Pangan Nasional, Polres Aceh Selatan Laksanakan Launching Penanaman Jagung Serentak 

9 Juli 2025 - 15:45 WIB

DPP AMM Apresiasi Kehadiran Pabrik Karet Remah Pertama di Aceh

9 Juli 2025 - 15:36 WIB

SMAN 1 Syamtalira Bayu Wakili 4 Cabang Lomba FLS3N Tingkat Kabupaten ke Provinsi

9 Juli 2025 - 15:29 WIB

MTQ: Syiar Al-Qur’an yang Harus Kita Pertahankan

9 Juli 2025 - 14:25 WIB

Budi Arie Pamer 80 Ribu Kopdes Merah Putih Terbentuk, Rieke :Saya Harus Bilang Wow Gitu?

9 Juli 2025 - 11:15 WIB

Trending di Nasional